Huru Hara Pajak Impor: Kausa Keresahan Masyarakat
“Pajak adalah ongkos peradaban.”
– Oliver Wendell Holmes, mantan Hakim Agung Amerika Serikat
Kutipan dari Holmes itu sering digunakan untuk merangkum esensi perpajakan dalam konteks peran masyarakat berbangsa dan bernegara. Kalimat itu juga menjadi alasan mengapa pajak seringkali dianggap sebagai beban dan, di waktu bersamaan, merupakan hal yang sangat penting dalam membangun masyarakat yang beradab. Mengikuti sifat alamiahnya, penerapan aturan pajak di Indonesia juga sering menuai pro-kontra masyarakat. Akar masalah seringkali bermula dari aturan-aturan yang ditetapkan kerap mengalami perubahan dibersamai dengan kurangnya kesinambungan antara kementerian terkait dengan instansi pelaksana.
Akhir-akhir ini, permasalahan mengenai pajak barang impor mencuat di salah satu kanal media, membuat banyak orang menjadikan platform tersebut ajang tuai kritik kebijakan yang ada.
Pembuka Kotak Pandora, Badai Kritik Datang Tak Terbendung
Belakangan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) menjadi bulan-bulanan publik mengiringi kasus pajak impor yang menimpa Radhika Altaf.
Kasusnya berawal dari transaksi sepatu bermerek Adidas miliknya yang dikenakan harga bea cukai melebihi harga beli barang itu sendiri. Radhika Altaf diberikan tagihan bea cukai sejumlah Rp31 juta atas nilai sepatu yang hanya sebesar Rp10,3 juta termasuk ongkir sebesar Rp1,2 juta. Importir merasa tidak terima atas keputusan tersebut dan menyebarkan pengalamannya di berbagai platform media sosial. Dirinya mengaku telah melakukan proses perhitungan sesuai dengan aplikasi yang menghasilkan nilai bea yang jauh dari keputusan tersebut.
Efek domino, kejadian tersebut disusul dengan berbagai komentar yang mengungkap penyimpangan pajak barang impor. Seorang influencer bernama Medy Rhenaldy turut menyampaikan keluhannya terkait barang mainannya yang ditahan oleh Bea Cukai. Ia menduga pungutan yang diberikan oleh Bea Cukai janggal karena harga robot yang dibeli hanya $899. Akan tetapi, Bea Cukai menetapkan harga pembelian barang tersebut sebesar $1.699.
Kasus kritik terhadap Bea Cukai tidak hanya berhenti disini. Kejadian penahanan alat bantu belajar untuk sekolah luar biasa (SLB) tahun 2022 lalu juga kembali menjadi perbincangan. Sebelumnya, di media sosial X (Twitter) seorang pengguna dengan nama akun @ijalzaid mengeluhkan alat pembelajaran siswa tunanetra yaitu taptilo yang merupakan hasil hibah dari perusahaan Korea Selatan ditahan Kantor Bea dan Cukai Bandara Soekarno-Hatta karena belum membayar tagihan senilai ratusan juta rupiah.
Saling Sanggah untuk Berbenah
Menanggapi kejadian yang dialami Radhika Altaf, Sekjen Bea dan Cukai, Askolani, melakukan klarifikasi. Pihaknya mengaku sudah bekerja dan bertindak sesuai aturan yang dibuat oleh kementerian teknis yang membidangi urusan ekspor dan impor. Barang kiriman dari luar negeri adalah barang impor dan akan terkena utang bea masuk. Oleh karena itu, Pejabat Bea Cukai perlu memastikan barang kiriman tersebut telah memenuhi peraturan perundang-undangan dan pemeriksaan pabean secara selektif dengan mempertimbangkan risiko yang melekat pada barang dan importir.
“Jika diketahui nilai pabean barang kiriman melebihi FOB USD$3 sampai dengan FOB USD$1.500 yang disampaikan dengan consignment note, maka barang kiriman tentu akan dipungut bea masuk, pajak pertambahan nilai (PPN), dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) sesuai ketentuan yang berlaku,” ujar Askolani.
Di lain sisi, terkait kejadian penahanan alat bantu SLB, kementerian terkait dengan cepat memberi respon. Akibat banyaknya kritik yang dilontarkan oleh masyarakat, Kementerian Keuangan segera melakukan tindak lanjut penanganan isu di DJBC.
“Dikarenakan proses pengurusan tidak dilanjutkan oleh yang bersangkutan tanpa keterangan apapun, maka barang tersebut (alat belajar SLB) ditetapkan sebagai Barang Tidak Dikuasai (BTD). Saya juga meminta BC untuk bekerja sama dengan para stakeholders terkait agar dalam pelayanan dan penanganan masalah di lapangan dapat berjalan cepat, tepat, efektif sehingga memberikan kepastian kepada masyarakat,” jelas Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI.
Tarif pajak impor tinggi yang ditetapkan ini menjadi keresahan banyak orang. Didalam regulasi sendiri sebenarnya ada aturan yang membahas terkait hal tersebut. Jika dirasa tidak sesuai, masyarakat atau penerima barang dapat mengajukan keberatan dengan nilai pabean Bea Cukai yang diterima. Pengajuan keberatan sudah diatur dalam PMK nomor 136/PMK.04/2022, mengikuti Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 51/PMK.04/2017. Proses pengajuan tentunya disertai penyertaan data dan bukti yang mendukung atas alasan pengajuan keberatan. Meskipun timbul banyak kasus mengenai aturan pajak, bukan berarti hal tersebut menjadi tidak penting.
Pasalnya, pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Singkatnya, setiap warga negara mulai saat dilahirkan sampai dengan meninggal dunia, menikmati fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang semuanya dibiayai dengan uang yang berasal dari pajak. Cukai termasuk dalam kategori pajak tidak langsung sehingga konsumen sebagai penanggung pajak. Cukai ini diterapkan secara selektif pada barang-barang yang dianggap perlu dikendalikan, diawasi, atau dibatasi penggunaannya. Hal ini diterapkan demi pengendalian arus barang impor yang masuk ke pabean wilayah Indonesia dan juga merupakan bentuk intervensi oleh pemerintah agar industri dalam negeri bisa terlindungi dari kerugian atas minimnya transaksi.
Sinergi: Langkah Bijak Mengatasi Permasalahan
Singkatnya, hal yang dikeluhkan oleh masyarakat dalam kaitannya dengan implementasi aturan perpajakan di Indonesia adalah penerapannya di lapangan, bukan tentang aturan penerimaan cukai untuk pendapatan negara. Terlebih ketika melihat sejarahnya, di era Orde Baru, institusi Bea Cukai pernah dibekukan pemerintah karena menjadi sarang korupsi. Hal itu menambah sikap skeptis masyarakat terhadap DJBC sehingga kekurangan yang terjadi dalam penerapan harus diperbaiki secara kolektif.
Menyikapi hal tersebut, Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FEB UNAIR berkesempatan untuk berbincang langsung dengan Akhmad Jayadi SE., M.Ec.Dev., pakar Ekonomi Internasional Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga. Menurut Jayadi, tiga komponen yang harus bekerja sama dalam menanggapi permasalahan impor pajak yang tinggi adalah negara, industri, dan konsumen.
“Pertama, negara, baik melalui kementerian keuangan, Kementerian Perdagangan, maupun Dirjen Bea Cukai harus memperbaiki tiga hal yaitu sosialisasi, penerapan, dan prosedur. Kedua, industri memiliki peran untuk memajukan kualitas output yang dihasilkan. Ketiga, dari sisi konsumen harus wise,” ujar dosen FEB tersebut.
Dari sisi ‘negara’, Jayadi menjelaskan arti dari sosialisasi adalah segala perubahan peraturan, baik peraturan baru maupun peraturan lama, harus dilakukan pengenalan secara masif kepada masyarakat. Penerapan berkaitan dengan kegiatan pemeriksaan dan penagihan tarif kepada masyarakat harus dilakukan dengan perilaku yang ramah dan informatif. Sementara itu, prosedur bermaksud pengambilan barang maupun penarikan tarif dan nontarif harus tersedia alur yang jelas.
Komponen ‘industri’ memiliki peran dalam memastikan daya saing yang dimiliki tidak kalah dengan produk luar negeri. Hal ini juga didukung oleh komponen ‘konsumen’ yang selalu bijak dalam mengembangkan budaya cinta produk dalam negeri karena dapat membuat perputaran ekonomi lebih banyak terjadi di dalam negara.
Penerimaan cukai untuk barang impor harus didukung karena selain menjadi pemasukan negara untuk perbaikan layanan publik maupun fasilitas lain, hal tersebut juga dapat menjadi pelindung industri dalam negeri terhadap persaingannya dalam pasar global. Namun, ketidakjelasan prosedur yang ada harus diperbaiki, penggunaan uang pajak harus jelas dan dapat dipertanggung jawabkan serta pelaku penyelewengan uang negara harus ditindak tegas agar kontribusi masyarakat tepat gunanya untuk keberlangsungan bangsa dan negara.
Penulis: Rafly Mardiansyah | Achmad Zaki Erfanda | Muhammad Amirul Ihsan
Editor: Ciptaning Ayu