Teropong Isu 2 - Menyusuri Jejak Transformasi PTN-BH dalam Keterkaitan dengan Kesejahteraan Mahasiswa
LATAR BELAKANG
Pendidikan perguruan tinggi memberikan landasan yang kuat bagi individu untuk mencapai potensi mereka, mempengaruhi masyarakat, dan berkontribusi pada perkembangan dunia. Selain itu, ia juga memainkan peran penting dalam menciptakan masyarakat yang lebih cerdas, inovatif, dan maju. Pendidikan memiliki peran penting seperti apa yang diatur dalam pasal 31 ayat 1 undang-undang dasar 1945, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan sekarang seperti berbalik arah. Pendidikan itu penting, tetapi kepentingan itu hanya dapat dirasakan oleh satu kalangan saja yaitu kalangan ekonomi tinggi yang berhak mendapatkan pendidikan tinggi di Indonesia.
Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, jumlah penduduk yang masuk ke perguruan tinggi atau duduk dibangku kuliah hanya sekitar 6 persen atau tepatnya 6,52 persen. Terdapat sejumlah masalah yang dihadapi sehingga membuat penduduk Indonesia tak memprioritaskan pendidikan di perguruan tinggi. Model pendidikan di Indonesia yakni wajib belajar 12 tahun menjadi masalah salah satunya. Selain itu juga, mahalnya biaya pendidikan tinggi dibandingkan dengan pendapatan perkapita masyarakat Indonesia. Kemendikbud Ristek menyampaikan bahwa pendidikan di perguruan tinggi bersifat tersier atau tidak wajib. Sehingga pada nyatanya tidak semua warga di Indonesia mendapatkan pendidikan perguruan tinggi karena beberapa faktor tersebut.
Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan transformasi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan mahasiswa. Satu sisi, kenaikan UKT dianggap sebagai hambatan serius bagi mahasiswa dari lapisan ekonomi menengah ke bawah. Mahasiswa dari keluarga berpenghasilan rendah semakin sulit untuk mengejar impian akademis mereka. Di sisi lain, transformasi PTN menjadi PTN-BH, meskipun bertujuan memberikan otonomi yang lebih besar kepada universitas, menimbulkan kekhawatiran. Mahasiswa merasa bahwa otonomi ini dapat disalahgunakan untuk meningkatkan biaya pendidikan tanpa memperhatikan kesejahteraan mahasiswa.
Dengan berangkat dari keresahan-keresahan terhadap sistem PTNBH, kajian ini dibuat sebagai wujud bentuk keresahan dan perjuangan mahasiswa terhadap sistem PTNBH yang banyak menuai kontroversi. Kajian ini akan berfokus pada sejarah perkembangan PTN-BH di Indonesia ini, mengidentifikasi masalah-masalah terkait sistem kebijakan dalam
implementasi, serta memberikan rekomendasi untuk kebijakan pendidikan tinggi di masa depan. Tujuan utamanya adalah untuk mengajak pembaca bersama-sama merefleksi dan mendorong langkah konkret memperjuangkan dalam mencapai sistem kebijakan PTN-BH dalam peningkatan kualitas pendidikan, transparansi dan akuntabilitas untuk mahasiswa di Indonesia.
BAGIAN I – Transformasi Perguruan Tinggi sebelum adanya PTN BH
Sebelum transformasi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH), PTN di Indonesia mengalami beberapa fase perkembangan yang melibatkan perubahan dalam sistem pengelolaan dan tata kelola pendidikan tinggi. Pada awalnya, PTN berstatus sebagai satuan kerja (Satker) di bawah kementerian terkait, terutama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Status Satker ini berarti PTN sangat tergantung pada anggaran pemerintah dan memiliki otonomi yang terbatas dalam mengelola dana dan kebijakan internalnya. Keputusan-keputusan strategis dan operasional banyak ditentukan oleh regulasi dan arahan dari pemerintah pusat.
Kemudian, beberapa PTN diberikan status sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN-BLU). Dengan status ini, PTN mendapatkan fleksibilitas lebih dalam pengelolaan keuangan dan operasional. PTN-BLU diizinkan untuk menghasilkan pendapatan sendiri melalui layanan yang mereka berikan, seperti pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, serta bisa mengelola pendapatan tersebut secara mandiri. Namun, meskipun PTN-BLU memiliki lebih banyak otonomi dibandingkan dengan Satker, pengelolaan keuangan mereka masih harus mengikuti pedoman dan pengawasan dari pemerintah.
Perubahan signifikan terjadi ketika beberapa PTN diberikan status sebagai PTN BH. PTN BH memiliki otonomi yang jauh lebih luas dalam hal akademik, keuangan, organisasi, dan pengelolaan sumber daya manusia. Status ini memungkinkan PTN BH untuk membuat kebijakan sendiri, mengelola aset, dan berpartisipasi dalam investasi serta kemitraan dengan pihak ketiga. PTN BH juga memiliki kebebasan untuk menetapkan kurikulum dan standar akademik yang lebih sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri dan pasar kerja.
Otonomi yang lebih besar ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan daya saing internasional dari PTN di Indonesia. Transformasi ini diatur melalui berbagai regulasi dan undang-undang, salah satunya adalah Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1999 yang memberikan kerangka dasar untuk pengelolaan perguruan tinggi yang lebih otonom. Transformasi ini juga didorong oleh kebijakan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka yang diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, yang bertujuan untuk memberikan lebih banyak kebebasan kepada perguruan tinggi dalam mengelola pendidikan dan meningkatkan kualitas lulusan.
PTN BH DI INDONESIA? PENGARUH TREN GLOBAL?
Universitas-universitas terkemuka di dunia, seperti University of California, Berkeley, telah menunjukkan bahwa dengan memberikan otonomi lebih besar, universitas dapat mencapai tingkat kualitas pendidikan dan penelitian yang lebih tinggi serta meningkatkan kapasitas finansial mereka melalui diversifikasi sumber pendapatan. Sistem kebebasan otonomi yang lebih luas tersebut bertujuan untuk meningkatkan fleksibilitas dan kemandirian universitas dalam mengelola urusan akademik, keuangan, dan administratif. Dalam konteks Indonesia, model tata kelola dengan penerapan otonomi yang lebih luas terimplementasikan melalui “sistem PTN BH” sama halnya dengan sistem yang dianut oleh universitas-universitas terkemuka di Amerika Serikat dan Eropa, yaitu struktur otonomi yang kuat. Misalnya, University of California, Berkeley memiliki model tata kelola bersama yang melibatkan Dewan Bupati (Board of Regents), Senat Akademik, dan yayasan universitas yang mendukung kegiatan penggalangan dana dan filantropi.
Di samping itu, universitas-universitas global ini juga menunjukkan bahwa otonomi memungkinkan universitas untuk lebih responsif terhadap perubahan kebutuhan industri dan masyarakat, serta mendorong inovasi dalam penelitian dan pengembangan. Dengan memiliki kebebasan untuk menjalin kemitraan dengan industri dan lembaga internasional, universitas dapat lebih efektif dalam mentransfer teknologi dan pengetahuan ke masyarakat luas. Melalui implementasi konsep yang mirip dengan Perguruan Tinggi luar negeri seperti University of California, Berkeley. Seiring perkembangan sistem tersebut, Indonesia pun turut menerapkan konsep yang serupa, yakni model PTN-BH. Dengan implementasi konsep yang mirip, fleksibilitas pengelolaan universitas lebih terbuka. Dapat dilihat dari keleluasaan menarik lebih banyak pendanaan dari berbagai sumber, serta berpartisipasi lebih aktif dalam riset dan inovasi global. Upaya ini juga merupakan bagian dari strategi untuk mencapai status World Class University (WCU), yang merupakan salah satu target utama pemerintah Indonesia dalam meningkatkan daya saing pendidikan tinggi di kancah internasional
Akar pembentukan PTN-BH
Tinjauan yuridis mengenai Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN-BH) bermuara pada penetapan Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 Tahun 1999 yang mengatur tentang Pendidikan Tinggi. Pembentukan PP No. 60 Tahun 1999 merupakan buah implementasi dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam PP No.60 Tahun 1999 pasal 123 ayat (1) diterangkan bahwa “Perguruan Tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah yang telah mampu dan layak untuk dikelola secara mandiri dapat ditetapkan status hukumnya menjadi Badan Hukum yang mandiri”, lalu disusul ayat (2) yang menjelaskan lebih lanjut “Ketentuan-ketentuan mengenai Badan Hukum sebagaimana disebut pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah” Berakar dari kedua pasal tersebut, dibentuklah Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum. Lebih lanjut, dijelaskan pada pasal 2 PP No. 61 Tahun 1999 bahwa “Perguruan Tinggi merupakan badan hukum milik Negara yang bersifat nirlaba”
Meskipun saat ini Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 tahun 1999 sudah tidak berlaku karena diganti dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan
dan Penyelenggaraan Pendidikan, sama sekali tidak mengubah PP No. 61 Tahun 1999 sebagai dasar hukum berdirinya PTN-BH.
PTN BH adalah perguruan tinggi negeri yang didirikan oleh pemerintah dan berstatus sebagai badan hukum publik yang mandiri. Artinya, Perguruan Tinggi Negeri dengan status PTN BH diberikan kebebasan untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi secara mandiri guna menghasilkan pendidikan tinggi berkualitas. Perguruan tinggi tersebut memiliki otonomi penuh dalam mengelola sumber dayanya, dengan intervensi pemerintah yang semakin berkurang. Otonomi ini mencakup kemampuan penuh institusi untuk mencapai misinya berdasarkan pilihan mereka sendiri. Seperti yang dinyatakan dalam Magna Charta Universitatum, otonomi memerlukan kesempurnaan dalam bidang akademik, tata kelola, dan manajemen keuangan. Perguruan tinggi yang mandiri diwajibkan memiliki kepastian mengenai tata kelola universitas yang baik (good university governance).
Kriteria dan Penetapan
PERSYARATAN
Dijelaskan oleh Lukman, Direktur Kelembagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, setidaknya ada lima syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi PTN BH, yakni:
Pertama, yang paling fundamental, perguruan tinggi harus menyelenggarakan Tridharma Perguruan Tinggi yang bermutu. Ini berarti perguruan tinggi tersebut harus mampu melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dengan kualitas yang tinggi. Kualitas ini diukur berdasarkan berbagai indikator kinerja akademik dan relevansi hasil penelitian serta kontribusinya terhadap masyarakat.
Kedua, perguruan tinggi harus memiliki tata kelola yang baik. Tata kelola ini mencakup kepemimpinan, manajemen, dan administrasi yang transparan dan akuntabel. Perguruan tinggi harus menunjukkan bahwa mereka memiliki struktur organisasi yang efektif dan efisien serta mekanisme pengambilan keputusan yang jelas dan terbuka. Lebih lanjut, perguruan tinggi juga wajib “nirlaba” dalam proses pengelolaan, serta harus disiplin dalam penyusunan dan penyampaian laporan akademik dan nonakademik PTN.
Ketiga, perguruan tinggi harus memenuhi standar minimum kelayakan finansial. Ini berarti perguruan tinggi harus mampu mengelola keuangannya secara mandiri dan berkelanjutan. Mereka harus menunjukkan bahwa mereka memiliki sumber pendapatan yang cukup dan mampu mengelola anggaran dengan baik, termasuk dalam hal pengelolaan dana dari sumber-sumber lain di luar anggaran pemerintah. Pengelolaan keuangan dan aset harus berkiblat pada peraturan perundang-undangan. Lalu, laporan keuangannya juga harus memperoleh opini wajar tanpa pengecualian selama dua tahun berturut-turut.
Keempat, perguruan tinggi harus menjalankan tanggung jawab sosialnya. Ini termasuk menunjukkan komitmen dalam memberikan kontribusi positif terhadap masyarakat sekitar, misalnya melalui program-program pengabdian kepada masyarakat, beasiswa untuk siswa kurang mampu, atau inisiatif-inisiatif lainnya yang bermanfaat bagi komunitas. Dalam tanggung jawab sosial ini, hal yang menarik adalah adanya minimum calon mahasiswa yang
kurang mampu secara ekonomi dan memiliki potensi akademik dalam perguruan tinggi, yakni sekurang-kurangnya ada 20% Mahasiswa
Kelima, perguruan tinggi harus berperan dalam pembangunan perekonomian. Perguruan tinggi diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan ekonomi, baik melalui inovasi-inovasi yang dihasilkan dari penelitian, kerjasama dengan industri, maupun melalui penciptaan lapangan kerja bagi lulusan mereka. Perguruan Tinggi perlu terlibat dalam pengembangan UKM, dunia usaha dan industri, serta menumbuhkan jiwa kewirausahaan Mahasiswa.
PROSES PENETAPAN
Proses penetapan PTN BH dimulai dengan pengajuan proposal oleh perguruan tinggi yang berminat. Proposal ini harus mencakup rencana strategis dan kesiapan perguruan tinggi untuk memenuhi semua kriteria yang telah ditetapkan. Rencana strategis tersebut meliputi visi, misi, dan langkah-langkah konkret yang akan diambil untuk mencapai status PTN BH. Setelah proposal diajukan, dilakukan evaluasi dan verifikasi oleh tim dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Proses evaluasi ini mencakup penilaian terhadap kualitas penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi, yang meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Selain itu, tata kelola perguruan tinggi juga dievaluasi, termasuk kepemimpinan, manajemen, dan administrasi yang harus transparan dan akuntabel.
Selanjutnya, kondisi finansial perguruan tinggi dievaluasi untuk memastikan bahwa perguruan tinggi memiliki kemampuan finansial yang memadai dan mampu mengelola keuangannya secara mandiri dan berkelanjutan. Perguruan tinggi juga harus menunjukkan komitmen dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya, serta berkontribusi dalam pembangunan perekonomian, baik melalui inovasi, kerjasama dengan industri, maupun penciptaan lapangan kerja.
Dalam persiapan menuju PTN BH, perguruan tinggi harus mencapai skor tertentu dalam evaluasi analitik yang dilakukan. Skor ini didasarkan pada berbagai indikator kinerja dan kesiapan institusi. Indikator-indikator tersebut mencakup berbagai aspek yang dinilai selama proses evaluasi, seperti kualitas akademik, tata kelola, kondisi finansial, dan kontribusi sosial dan ekonomi.
Setelah melalui proses evaluasi dan verifikasi serta memenuhi skor yang ditetapkan, perguruan tinggi yang memenuhi semua kriteria akan ditetapkan sebagai PTN BH oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Penetapan ini dilakukan melalui keputusan resmi yang diikuti dengan implementasi rencana strategis oleh perguruan tinggi yang bersangkutan.
Setelah ditetapkan sebagai PTN BH, perguruan tinggi tersebut harus melanjutkan pemantauan dan penilaian berkelanjutan untuk memastikan bahwa semua kriteria PTN BH terus terpenuhi seiring waktu. Perguruan tinggi juga diharapkan terus melakukan perbaikan dan inovasi dalam penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi serta tata kelolanya agar tetap memenuhi standar yang ditetapkan dan berkontribusi positif terhadap masyarakat dan perekonomian.
Namun, meskipun Indonesia sudah menerapkan konsep otonomi yang serupa dengan perguruan tinggi luar negeri, hasil pengimplementasian konsep “PTN BH” ini tidak berjalan dengan mulus. Hal tersebut tercermin dari maraknya kontroversi kebijakan yang berkaitan dengan PTN BH ini. Berbeda dengan perguruan tinggi luar negeri yang sudah menerapkankan konsep ini, keoptimalan pengelolaan perguruan tinggi yang dihasilkan pun jauh di atas Indonesia yang masih mencoba mengembangkan konsep ini
BAGIAN II – Masalah-Masalah
Komparasi
Jika dibandingkan dengan sistem PTN-BH di luar negeri, maka implementasi di Indonesia masih dalam hitungan early phase. Pasalnya, perbedaan kemandirian institusi jelas terlihat. Dilihat dengan PTN-BH di Indonesia yang berusaha keras sedemikian rupa untuk meningkatkan keleluasaan pengelolaan kebijakan internal, pemasukan dalam segi keuangan, dan proses administrasi. Berbeda dengan perguruan tinggi mandiri di luar negeri yang sudah terbiasa dengan model ini, terlebih development atau solusi akan minimnya pendapatan sudah lebih dulu teratasi.
Dilihat dari pengelolaannya, PTN-BH di Indonesia memiliki model pengelolaan yang beragam, mulai dari otonomi penuh dengan contoh pembukaan program studi baru yang tanpa memerlukan persetujuan menteri hingga masih di bawah kontrol pemerintah yang sistem manajemennya masih dalam pengembangan atau memerlukan panduan dari pemerintah. Sedangkan di luar negeri, model pengelolaan PTN-BH umumnya lebih otonom dan akuntabel kepada publik. Dalam segi sumber pendanaan pun, PTN-BH di Indonesia masih bergantung pada dana pemerintah seperti dana abadi universitas, sedangkan PTN-BH di luar negeri memiliki sumber pendanaan yang lebih beragam, seperti dari alumni, industri, dan donasi.
Beralih ke segi kualitas pendidikan, PTN-BH Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan PTN-BH di luar negeri, meskipun tak dapat dipungkiri terdapat beberapa PTN-BH yang sudah menunjukkan kemajuan, seperti Universitas Airlangga (UNAIR), Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan jajaran top perguruan tinggi yang melesat peringkatnya pada indeks ranking global. Perbedaan-perbedaan yang terjadi ini mencerminkan tantangan dan peluang yang dihadapi Indonesia dalam mengimplementasikan sistem yang baru sembari belajar dari praktik dan pengalaman negara-negara lain.
Kasus-Kasus Masalah
Meskipun sistem PTNBH telah diimplementasikan sejak tahun 2009 melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, tetapi dengan segala polemik yang terjadi, sistem PTN-BH yang ada hingga sekarang baru benar-benar dipakai di tahun 2012. Dari awal hingga akhir-akhir ini mencuat permasalahan, penerapan sistem perguruan tinggi mandiri ini tak pernah lepas dari rentetan kasus yang menimpa. Bagaimana tidak, sistem PTNBH tak jarang dianggap mengingkari UUD 1945 sebagai dasar negara yang salah satu isinya “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.”
Dimulai di masa awal penerapan, kasus terkait sistem PTNBH ini berawal di tahun 2007 dan 2008 yang menyangkut UI dan ITB dimana Mantan Rektor UI–Prof. Gumilar Rusliwaha–didakwa korupsi terkait pembangunan kampus UI di Depok dan Rektor ITB pada saat itu–Prof. Djoko Pekik Irwantoro–diberhentikan oleh senat karena dianggap tidak dapat memimpin. Hal ini menunjukkan potensi penyalahgunaan kewenangan PTN-BH, memicu perdebatan tentang otonomi dan akuntabilitas PTN-BH.
Tidak berhenti sampai disitu, di masa transisi, Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Institut Pertanian Bogor (IPB) juga terjerat kasus berhubungan dengan sistem PTN-BH di tahun 2014 dan 2015. UGM karena kesulitan mendapatkan pemasukan, dengan tanpa mempertimbangkan secara seksama, menaikkan UKT secara drastis yang berakibat memicu demonstrasi dari kalangan mahasiswa. Sementara Rektor IPB–Prof. Arif Satria–dikritik karena menerbitkan peraturan yang dianggap diskriminatif terhadap dosen perempuan. Hal ini secara gamblang membuka kepada publik kekurangan sistem PTN-BH terkait susahnya pendapatan perguruan tinggi dan memicu diskusi tentang kesetaraan gender di PTNBH.
Akhir-akhir ini, pada tahun 2023, Rektor Universitas Lampung (UNILA)--Prof. Karomani–ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi tangkap tangan terkait suap penerimaan mahasiswa baru. Kasus ini menjadi kasus korupsi terbesar yang pernah terjadi di PTNBH. Dilanjutkan dengan maraknya berita atas saran yang diberikan ITB terhadap mahasiswa untuk menyelesaikan permasalahan UKT dengan Pinjaman Online (Pinjol). Selain kasus-kasus diatas, masih banyak kasus-kasus lain yang menampilkan buruknya sistem PTNBH meliputi kasus penyelewengan otonomi, tidak transparannya pengelolaan keuangan, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), diskriminasi terhadap mahasiswa dan dosen bahkan mismanajemen seperti pengangkatan rektor yang tidak sesuai prosedur.
Aturan Tidak Pakem
Berbicara tentang aturannya sendiri, regulasi PTNBH di Indonesia masih sering kali melibatkan perubahan dan proses regulasi baru. Regulasi yang mengatur PTN-BH juga masih belum matang dan kurang jelas dalam beberapa aspek, dengan contoh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 tentang Tata Kelola PTN-BH dalam konteks pengelolaan keuangan, masih belum detail dalam mengatur mekanisme proses penganggaran, procurement, dan akuntansi. Sementara dalam hal keterlibatan masyarakat, peraturan yang ada belum detail dalam mengatur mekanisme partisipasi masyarakat, seperti jenis partisipasi yang dapat dilakukan dan bagaimana suara masyarakat diakomodasi dalam pengambilan keputusan PTNBH.
Peraturan mengenai sumber pembiayaan juga terus berubah, berawal dengan UU Dikti yang mengatur tentang skema pembiayaan PTNBH, yaitu dengan sumber dana dari pemerintah, mahasiswa, dan sumber lainnya yang sah. Dilanjutkan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 15 Tahun 2014 yang mengatur tentang tata cara dan persyaratan pemberian bantuan keuangan kepada PTNBH. Diubah lagi melalui Permenkeu Nomor 75 Tahun 2020 yang mengubah beberapa ketentuan dalam Permenkeu Nomor 15 Tahun 2014, seperti formula perhitungan bantuan keuangan dan jenis kegiatan yang dapat
dibiayai. Dengan begitu, segala perubahan peraturan yang ada menyebabkan ketidakpastian hukum, inefisiensi hingga penurunan kualitas pendidikan.
Mempertanyakan Transparansi PTN-BH
Masalah-masalah yang ada dalam sistem PTN-BH di Indonesia tidak hanya seperti yang telah disebutkan diatas, faktor transparansi juga menjadi isu serius yang menerpa sistem ini. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan PTN-BH menjadi salah satu masalah utama. Masyarakat dan mahasiswa kesulitan untuk mengakses informasi terkait penggunaan dana PTN-BH, termasuk sumber pendanaan, mekanisme penganggaran, dan realisasi anggaran. Hal ini menimbulkan kecurigaan dan kekhawatiran terhadap potensi penyalahgunaan dana PTN-BH, seperti korupsi dan inefisiensi. Sementara, dari berbagai isu yang bermunculan, salah satu isu yang paling krusial dalam implementasi PTN-BH adalah kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang signifikan. Kenaikan UKT ini dirasa memberatkan mahasiswa dan keluarga mereka, terutama bagi mahasiswa dari keluarga kurang mampu.
Kurangnya transparansi dalam mekanisme penetapan UKT dan tidak adanya perumusan yang jelas dan terukur untuk menentukan besaran UKT memicu kontroversi dan protes dari mahasiswa. Bahkan universitas sampai harus menaikkan UKT tanpa pemberitahuan. Pekan lalu, pada tanggal 24 Mei 2024, Rektor UNAIR menyatakan tidak akan menaikkan UKT miliknya buntut ramainya permasalahan UKT yang sedang menyeruak. Namun, pada faktanya, UKT UNAIR mengalami kenaikan Rp 1 juta sampai 3 juta per semesternya, ditambah penambahan golongan yang awalnya hanya 5 golongan menjadi 7 golongan. Contoh lain dari permasalahan ini, yang sebelumnya viral di sosial media adalah naiknya UKT golongan tertinggi dengan rata-rata mencapai persentase minimal 100% milik Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED). Hal tersebut semakin memperjelas sulitnya asal dana pemasukan PTNBH.
Menanggapi segala kegaduhan yang terjadi terutama pada masalah kenaikan UKT ini, Menteri Pendidikan akhirnya mengambil tindakan.
”Kemendikbud telah mengambil keputusan untuk membatalkan kenaikan UKT pada tahun ini dan kami akan mere-evaluasi semua permintaan peningkatan UKT dari perguruan tinggi negeri,” Ujar Nadiem Makarim, Mendikbud Ristek, seusai menemui Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (27/05)
Keputusan tersebut terlihat dengan pencabutan surat rekomendasi tarif UKT dan Pengembangan Iuran Institusi (IPI) pada 75 PTN dan PTNBH. Namun, menurut pengamat pendidikan, hal tersebut tak akan membantu dalam waktu lama jika PermendikbudRistek Nomor 2 tahun 2024 yang mengatur tentang kenaikan UKT bagi mahasiswa baru belum dicabut dan tidak adanya komitmen mengembalikan status PTN-BH menjadi PTN kembali. Hal ini sangat krusial dikarenakan PTN-BH akan tetap terjerat pada permasalahan dana pemasukan untuk biaya operasionalnya dan akan kembali lagi pada peningkatan UKT. Perhitungannya dapat dilihat berdasarkan laporan keuangan dari pendapatan operasional, 5 kampus ternama di Indonesia mayoritas pendapatannya berasal dari UKT mahasiswa. Dari UI yang mencapai 77,19% berasal dari UKT, ITS 61,11%, UNAIR 52,45%, UGM 42,59%
sampai yang terendah diantara 4 lainnya yaitu ITB sebesar 32,71% mengindikasikan tingkat ketergantungan yang sangat tinggi antara PTN-BH dengan UKT.
Implementasi Salah Target
Jika berbicara tentang perlu tidaknya pergantian sistem ke PTN-BH, sebenarnya diperlukan. Pasalnya, sistem PTNBH diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan tinggi, produktivitas perguruan tinggi dan meningkatkan daya saing lulusan di pasar kerja. Akan tetapi anggaran yang diberikan sebelum sistem ini terbilang tidak efektif. Persentase anggaran pendidikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2000, terealisasi sebesar 3,4% yang terus meningkat sampai 8,4% di tahun 2011. Porsi anggaran untuk PTN sebelum sistem PTNBH dalam total anggaran pendidikan bervariasi. Pada tahun 2009, alokasi anggaran untuk PTN sekitar 20% dari total anggaran pendidikan. Contohnya pada tahun 2008, UGM menerima anggaran sekitar Rp 400 miliar. Anggaran yang diterima digunakan untuk membiayai berbagai kebutuhan, seperti gaji dosen dan staf, operasional pendidikan, penelitian, dan pembangunan infrastruktur, tetapi mengalami stagnasi dalam kualitas pendidikan. Anggaran yang sangat sedikit dan mandeknya kualitas hasil pembelajaran adalah faktor penting mengapa diperlukannya perubahan sistem.
Dalam perjalanannya, penerapan sistem PTNBH terbukti mampu meningkatkan eksistensi perguruan tinggi di Indonesia dalam kancah internasional, dibuktikan dengan melesatnya ranking berbagai PTN-BH. Tak hanya itu, kemudahan terkait birokrasi yang kaku dan segala hal lainnya juga dapat teratasi karena sejatinya kampus itu tempat pikiran yang praktis. Namun, dalam praktiknya, permasalahan PTNBH berkutat pada minimnya sumber pemasukan yang menyebabkan kenaikan UKT tidak terkendali. Hal inilah yang disebut sebagai komersialisasi pendidikan, dimana hanya orang kaya yang dapat melanjutkan pendidikan tinggi, sementara yang miskin terpaksa putus kuliah karena tak mampu membayar. Meskipun pemerintah menyediakan dana abadi perguruan tinggi, nampaknya hal ini tak dapat membantu banyak permasalahan yang ada. Tak dapat dipungkiri, upaya pemerintah untuk mewujudkan pendidikan tinggi kelas dunia terhalang oleh kondisi perguruan tinggi yang belum sepenuhnya siap mengadaptasi sistem ini.
BAGIAN III – Rekomendasi Kebijakan
Relevansi Implementasi Asas Transparansi Terhadap Keuangan Mahasiswa
Dalam skema perguruan tinggi, kita bisa melihat kesamaan hubungan antara mahasiswa dan pejabat perguruan tinggi dengan investor dan penerima investasi. Analogi ini cukup relevan karena salah satu fungsi kehadiran mahasiswa adalah sebagai pemasok sumber dana terbesar untuk keberlangsungan program universitas. Mahasiswa setiap semesternya perlu membayar uang kuliah tunggal dalam jumlah tertentu. Sebagai balasannya, pihak kampus harus memenuhi kewajibannya untuk memberikan pelayanan terbaik bagi seluruh mahasiswanya tanpa terkecuali. Dimulai dari pengajaran yang maksimal, kecukupan fasilitas, dan seluruh kebutuhan para mahasiswa dalam pembelajaran.
Layaknya hubungan investor dan penerima investasi, anggaran yang dikeluarkan oleh mahasiswa perlu dipertanggungjawabkan oleh pihak kampus sebagai bentuk bukti
keefektifan anggaran tersebut. Hal ini sesuai dengan aspek-aspek dari prinsip good corporate governance yaitu Transparency, Accountability, Responsibility Independency, dan Fairness (Wijatno, 2009). Petinggi kampus harus bisa melengkapi semua aspek ini terutama dalam aspek pertanggungjawaban atas transparansi pengelolaan anggaran. Apalagi mengingat PTN-BH punya wewenang yang leluasa untuk mengatur dan mencari keuangannya sendiri.
Salah satu bentuk penerapan dari aspek-aspek tersebut adalah penetapan kewajiban bagi PTN-BH untuk membuat laporan keuangan. Semua laporan keuangan tiap kampus sudah banyak tersedia di laman-laman internet. Bagi pihak kampus, laporan keuangan dibuat dengan tujuan agar para pemilik dapat mengetahui apakah kinerja perusahaan sudah sesuai dengan rancangan awal keuntungan. Selain itu, laporan ini juga berguna sebagai alat komunikasi pihak kampus dengan para pihak yang berkepentingan, salah satunya adalah mahasiswa. Mahasiswa mempunyai sebuah hak untuk mengetahui alur anggaran yang telah dikeluarkan olehnya.
Akan tetapi, pada kenyataannya selalu ramai setiap tahunnya isu kenaikan UKT yang dialami oleh mahasiswa di beberapa kampus. Mahasiswa selalu menggelar aksi atas isu ini untuk unjuk rasa protes atas proses penentuan uang kuliah yang semakin lama semakin naik. Mereka menuntut rasa tanggung jawab para petinggi kampus dalam pengelolaan anggaran yang dirasa tidak transparan dalam pengambilan keputusan. Dalih banyak kampus terkait UKT memang tidak jauh dari inflasi dan kebutuhan kampus yang semakin banyak. Namun, hal itu tidak disertai dengan bukti apapun dari pihak universitas secara clear.
Penulis dapat menyimpulkan bahwa laporan keuangan yang telah dibuat belum cukup untuk menyatakan transparansi universitas kepada para mahasiswa. Laporan tersebut sekiranya perlu untuk disampaikan dengan metode yang lebih sesuai. Kemudian mahasiswa juga perlu dijamin kemudahannya dalam mengakses laporan keuangan tersebut. Saat ini, semua laporan keuangan memang bisa diambil dari laman-laman web, tetapi laporan tersebut tidak sampai secara langsung di tangan mahasiswa. Oleh karena itu, cara-cara baru diperlukan agar mahasiswa mempunyai akses langsung dalam melihat pengelolaan anggaran yang telah dibayar oleh mereka.
Penguatan Sistem Regulasi Penetapan UKT yang Benar
Dalam wawancara yang dilakukan oleh media Tempo, Ketua Forum Majelis Wali Amanat PTN-BH menanggapi banyak hal terkait isu kenaikan UKT yang cukup masif beberapa waktu ini. Bapak Mohammad Nuh membuka suara atas kejadian kenaikan biaya ini yang juga banyak terjadi di kalangan kampus dengan gelar PTN-BH. Salah satu poin yang menarik dari pembicaraan tersebut adalah kenaikan UKT ini merupakan kejadian yang tidak bisa dipungkiri. Beliau percaya bahwa itu adalah sebuah kepastian karena harga pokok naik, upah minimum naik, dan listrik naik.
Beliau juga berpendapat bahwa kebijakan pengelolaan UKT harus tidak diterapkan berdasarkan asas equality, tetapi diatur sesuai dengan asas dasar equity. Ini berarti anggaran setiap mahasiswa tidak disamakan menjadi satu harga saja, tetapi disesuaikan dengan kesesuaian budget anggaran yang dimiliki oleh pihak keluarga mahasiswa. Ilustrasinya
seperti orang pendek harus diberikan batu yang lebih tinggi daripada orang tinggi untuk melihat pemandangan di luar tembok. Pihak kampus perlu menemukan titik temu atau equilibrium di antara willingness to pay dan ability to pay. Universitas harus bisa memetakan kategori UKT dengan baik seperti apa yang sesuai dengan kriteria kelompok masyarakat bawah, menengah, dan atas.
Untuk mencapai target tersebut, pemerintah dan pihak kampus memberikan peluang untuk setiap mahasiswa membayar sesuai dengan kondisi ekonomi mereka. Setiap kampus mempunyai kategori masing-masing untuk setiap kondisi mahasiswa mereka. Dimulai dari kategori 0 sampai kategori tertinggi di kampusnya. Kategori paling bawah diberikan kepada mahasiswa yang tidak mampu dengan biaya rendah. Begitu pula dengan kategori tertinggi untuk mahasiswa berkecukupan dengan biaya yang tinggi. Universitas berhak untuk mengatur seberapa banyak kategori UKT dan seberapa besar yang harus dibayar oleh mahasiswa. Pemerintah hanya memberikan syarat untuk kategori pertama dan kedua, yakni sebesar lima ratus ribu rupiah dan satu juta rupiah.
Sebelum diberikan kewajiban untuk membayar UKT, mahasiswa diberikan formulir khusus untuk mengisi slip gaji keluarga, aset-aset tetap, dan beberapa komponen lainnya untuk menilai kategori UKT yang cocok untuk mahasiswa. Kemudian data tersebut akan diunggah dan diproses oleh pihak kampus untuk bahan pertimbangan. Kampus akan mencocokan data-data tersebut agar sesuai dengan UKT yang akan dibayar oleh masing-masing mahasiswa.
Akan tetapi, masih banyak kejadian masalah yang terjadi dalam penerapan UKT tersebut. Implementasi dari pengisian syarat ini belum bisa menghasilkan pembagian UKT yang sesuai dengan kondisi mahasiswa. Banyak kasus telah terjadi dari dahulu hingga sekarang yang berputar-putar dalam masalah ketidaktepatan penentuan UKT untuk beberapa golongan tertentu. Mahasiswa miskin diberikan golongan UKT yang jauh dari kondisi finansial keluarganya. Kemudian mahasiswa yang sangat berkecukupan justru hanya diberikan UKT dengan golongan rendah. Kasus tersebut selalu terjadi akibat kesalahan kampus dalam menentukan keputusan yang sesuai dengan data yang telah diperoleh.
Pemerintah perlu menganggap hal ini sebagai masalah serius dalam perguruan tinggi. Kejadian ini tidak hanya terjadi satu sampai dua kali saja. Ini terus berulang terjadi ketika masa penentuan UKT di penerimaan mahasiswa baru. Kampus dan pemerintah perlu meninjau kembali bagaimana sistem tersebut diterapkan dan apa saja yang menjadi kendala dalam proses pemasukan data. Selama ini, kampus menerapkan pembagian ini berdasarkan perhitungan subsidi silang. Jika terjadi kesalahan dalam data pengaturan UKT, maka keseimbangan dalam subsidi tersebut juga akan terganggu dan akan mengakibatkan masalah-masalah lainnya.
Selain itu, universitas juga harus memberikan kemudahan dalam memberikan keringanan bagi mahasiswa yang mendapatkan kategori yang tidak sesuai. Professor Abdul Haris, sebagai Kemendikbud mengatakan “Kami menekankan agar kampus menyediakan beragam mekanisme keringanan (Pembayaran UKT).” Keberagaman mekanisme tersebut bisa berbentuk penurunan kategori UKT, angsuran, dan metode yang bisa dicari lebih lanjut untuk memudahkan mahasiswa dalam mengakses pendidikan.
Optimalisasi Peluang Income Generating University
Keistimewaan kampus Perguruan Tinggi Berbadan Hukum atau PTN-BH terletak dalam keleluasaan universitas untuk mengelola banyak hal secara mandiri. Berbeda dengan kampus lainnya, otonomi diberikan secara penuh dalam mengelola keuangan dan sumber daya lainnya bagi kampus penerima status tersebut. Jenis PTN ini memiliki kesamaan seperti Badan Usaha Milik Negara atau BUMN. Dua organisasi tersebut sama-sama memiliki kontrol penuh untuk aset mereka sendiri. Dalam Pasal 65 ayat (3) UU Nomor 12 Tahun 2012, PTN-BH mempunyai karakteristik sendiri yang berbeda dengan PTN lainnya. Salah satunya adalah wewenang untuk membuka badan usaha dan pengembangan dana pribadi.
Dari wewenang spesial tersebut, kampus bisa beralih ke dalam pencarian sumber dana dengan cara yang lebih beragam untuk menopang kekurangan uang mereka. Universitas bisa lebih fleksibel dalam mencari peluang-peluang pendapatan. Pencarian pendapatan ini biasa dikenal sebagai Income Generating University atau disingkat dengan IGU. Income Generating dapat dibagi menjadi dua sumber pokok, yaitu akademik dan non-akademik. Kategori akademik digunakan sebagai uang yang dihasilkan dari biaya akademik para mahasiswa dalam bentuk uang kuliah tunggal (UKT) atau biaya mandiri. Untuk maksud kategori non-akademik adalah pendapatan diluar dari biaya akademik berupa hibah dan hibah penelitian. Pengembangan badan usaha dan dana pribadi juga merupakan bagian dari pendapatan non-akademik.
Akan tetapi, jika mengacu kembali kepada realita yang terjadi pada masa kini, mayoritas perguruan tinggi negeri termasuk PTN-BH masih mengandalkan dana abadi dari pemerintah dan mahasiswa. Dilihat dari beberapa kampus unggul di Indonesia, seperti UI, ITS, UGM dan UNAIR mempunyai persentase sebesar 40-77% untuk indikasi tingkat ketergantungan kampus-kampus tersebut pada pendapatan dari uang kuliah tunggal (UKT). Dari sisanya, kita tahu bahwa keuangan dari pihak eksternal hanya mengisi sedikit komposisi finansial kampus itu sendiri.
Dari sebagian kecil data yang diuraikan, kesempatan kebebasan PTN-BH dalam mengelola keuangan terlihat tidak digunakan secara efektif. Padahal, jika melihat persyaratan perubahan Perguruan Tinggi Negeri menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum yang tercantum di Permendikbud No.88 tahun 2014, tertera jelas salah satu komponen yang menjadi syarat adalah memenuhi standar kelayakan minimum finansial. Lebih jelas lagi, perihal minimum finansial dijelaskan pada Pasal 2 No.1 bahwa Universitas harus punya kemampuan penggalangan dana selain dari penarikan biaya pendidikan mahasiswa.
Dari data tersebut juga PTN-BH terlihat tidak kreatif dalam pencarian dana untuk menunjang kebutuhannya. Padahal, melihat dari peringkat kampus di dunia, beberapa universitas menunjukkan pergerakan yang signifikan seperti UI, UGM, dan ITB untuk bersaing dengan kampus luar negeri Akan tetapi, sayangnya tiga kampus tersebut termasuk dalam kampus dengan nilai UKT termahal di Indonesia. Mahasiswa masih menjadi tumpuan prioritas dalam memenuhi sumber pendanaan universitas. Keunggulan dalam pemeringkatan dunia seharusnya juga diiringi dengan peningkatan keunggulan kampus dalam mencari pendanaan.
Banyak cara yang bisa diterapkan oleh PTN-BH dalam menutupi kekurangan pendanaan selain dari penarikan UKT. Salah satunya adalah pemanfaatan aset dengan sebaik-baiknya. Direktur Barang Milik Negara, DJKN Kementerian Keuangan, Encep Sudarwan menjelaskan bahwa kekayaan awal PTN-BH dapat mendukung penyelenggaraan tugas dan fungsi. Aset tersebut terbagi menjadi dua jenis, yaitu aset non-tanah dan aset barang milik negara (BMN) berupa tanah. Encep mengatakan PTN-BH dapat melakukan pemanfaatan lewat tanah BMN dan hasilnya bisa dijadikan sebagai pendapatan PTN-BH. Kemudian, beliau juga menjelaskan privilege BMN milih PTN-BH bisa dipindahtangankan atau dijaminkan kepada pihak lain. Ini merupakan peluang yang besar supaya kampus bisa mengambil manfaat dari aset tersebut.
Selain itu, sebenarnya penerapan pemanfaatan aset dan pengambilan keuntungan dari sumber daya selain UKT mahasiswa sudah banyak diterapkan, seperti pembukaan toko swalayan, peminjaman gedung, dan hibah penelitian. Akan tetapi, tentunya masih banyak catatan dalam penerapannya. Seperti satu kasus yang penulis ambil dari sebuah jurnal. Jurnal ini mengidentifikasi pemanfaatan laboratorium dan fasilitas lainnya di setiap program studi Universitas Negeri Semarang. Dari hasil tersebut ditemukan bahwa beberapa studi belum bisa maksimal memberikan kontribusi dalam pendapatan kampus. Diketahui penyebabnya adalah rata-rata pengguna jasa hanya dari internal kampus saja, seperti mahasiswa.
Kejadian ini bisa saja terjadi bukan hanya di UNNES, melainkan di beberapa kampus PTN-BH lainnya. Memang pada dasarnya setiap kampus pasti sudah mengupayakan mencari sumber finansial lain selain UKT. Terlihat jelas oleh mata mahasiswa dan beberapa pihak lainnya bahwa kegiatan bisnis telah terjadi di kampus sehingga muncul istilah “komersialisasi pendidikan”. Akan tetapi, pihak kampus mempunyai tugas penting untuk membuat sumber pendanaan selain UKT menjadi tumpuan utama atau setidaknya bisa lebih besar persentasenya dibandingkan dengan UKT.
Kesimpulan
Transformasi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) telah membawa perubahan signifikan dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Berbagai langkah strategis yang diterapkan bertujuan untuk memberikan otonomi lebih besar dalam pengelolaan keuangan, kurikulum dan sumber daya lainnya serta kebijakan internal dengan lebih fleksibel dan responsif. Selain memberikan otonomi yang besar dan fleksibel, Transformasi PTN-BH ini juga bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia sehingga mampu bersaing di kancah internasional.
Melihat seiring penerapannya, implementasi sistem PTN-BH ini menghadapi berbagai permasalahan isu yang perlu diatasi. Salah satu isu utama dalam transformasi PTN menjadi PTN-BH saat ini adalah kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang tinggi dan signifikan. Kenaikan UKT ini seringkali tidak disertai dengan transparansi dalam penetapan besaran dan penggunaannya. Hal ini berdampak pada aksesibilitas pendidikan tinggi bagi mahasiswa dari keluarga berpenghasilan rendah. Penting bagi PTN-BH untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan dan penetapan UKT untuk menghindari kesalahpahaman dan meningkatkan kepercayaan mahasiswa serta masyarakat.
Selain masalah UKT, otonomi yang diberikan kepada PTN-BH seringkali disalahgunakan, seperti yang terlihat dari beberapa kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun otonomi dapat memberikan fleksibilitas, masih belum sepenuhnya diiringi dengan pengawasan ketat dan yang memadai untuk memastikan bahwa otonomi ini digunakan secara bertanggung jawab dan transparan.
Dalam hal pendanaan, meskipun PTN-BH memiliki kebebasan untuk mencari sumber pendanaan alternatif, masih banyak perguruan tinggi yang sangat bergantung pada UKT Mahasiswa dan dana pemerintah. PTN-BH perlu lebih kreatif dan inovatif dalam mengelola dan mencari sumber pendanaan seperti kerjasama dengan perusahaan, hibah penelitian, dan pemanfaatan aset masih perlu dioptimalkan agar kenaikan UKT tidak secara terus-menerus sehingga tidak membebani mahasiswa dalam menempuh pendidikan tinggi.
Dalam Kajian ini telah disajikan beberapa informasi bahwa implementasi PTN-BH di Indonesia menunjukkan bahwa regulasi dan kebijakan yang mendukung perlu terus disempurnakan. Dibutuhkan regulasi yang jelas dan konsisten serta partisipasi aktif dari semua pemangku kepentingan untuk menciptakan sistem pendidikan tinggi yang lebih baik dan akuntabel.
Kajian ini merekomendasikan untuk menyelesaikan masalah-masalah akan implementasi dampak regulasi dan kebijakan PTN-BH di Indonesia yang kurang sempurna. Telah disertakan juga beberapa poin rekomendasi kebijakan tersebut agar bisa diadopsi oleh pemerintah Indonesia dalam penerapannya. Relevansi Implementasi Asas Transparansi Terhadap Mahasiswa, Sistem Regulasi Penetapan UKT yang benar, dan kampus bisa beralih ke dalam pencarian sumber dana dengan cara yang lebih beragam untuk menopang kekurangan uang mereka. Berbagai aspek dari transformasi PTN menjadi PTN-BH telah dibahas dan dengan pemahaman yang lebih baik, kita dapat bersama-sama mendorong langkah konkret untuk memperbaiki sistem ini demi mencapai pendidikan tinggi yang lebih berkualitas, adil, dan transparan di Indonesia. Mari kita bersama-sama refleksikan dandorong langkah konkret untuk mencapai sistem kebijakan PTN-BH yang lebih baik di masa depan sehingga menciptakan dapat pendidikan yang lebih baik bagi generasi mendatang.
Daftar Pustaka
Direktori Jurnal Elektronik, https://jurnal.ub.ac.id/. Accessed 6 July 2024. “Dampak Kebijakan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) yang Mengakibatkan Munculnya Komersialisasi Pendidikan.” Journal on Education, 10 March 2023, https://jonedu.org/index.php/joe/article/download/2153/1794/. Accessed 6 July 2024.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia 2023. BUKU PANDUAN PROGRAM REVITALISASI PTN TA 2024. 2024, https://dikti.kemdikbud.go.id/book/buku-panduan-program-revitalisasi-ptn-ta-2024/. FATHIA IKMI H, Zuni Barokah, S.E., M.Comm., Ph.D., CA.
Analisis Perubahan Sistem Keuangan PerguruanTinggi Negeri Berstatus Badan Layanan Umum menjadi Badan Hukum (Studi pada Universitas Pendidikan Indonesia), 2017, https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/128342.
“Governance Structure | Berkeley Space Center.” Berkeley Space Center, https://spacecenter.berkeley.edu/about-us/governance-structure. Accessed 6 July 2024. “Hanya 6,52 Persen Penduduk Rasakan Bangku Kuliah, Benarkah SDM Indonesia Rendah?” Liputan6.com, 8 January 2024, https://www.liputan6.com/amp/5498856/hanya-652-persen-penduduk-rasakan-bangku -kuliah-benarkah-sdm-indonesia-rendah. Accessed 6 July 2024.
“Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM.” Journal UII, https://journal.uii.ac.id/IUSTUM. Accessed 6 July 2024.
“Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan Halaman all - Kompas.com.” KOMPAS.com, 17 May 2024, https://nasional.kompas.com/read/2024/05/17/23261071/kemendikbud-sebut-kuliah-b ersifat-tersier-pimpinan-komisi-x-tidak-semestinya?page=all. Accessed 6 July 2024.
“Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan » Republik Indonesia.” Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan » Republik Indonesia, 30 July 2022, https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2022/07/dana-abadi-perguruan-tinggi-upaya pemerintah-wujudkan-pendidikan-tinggi-indonesia-kelas-dunia. Accessed 6 July 2024.
“KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,.” FE UNJ, 16 October 2023, https://fe.unj.ac.id/wp-content/uploads/2023/10/Rakor_Rektor_16_Oktober_2023.edit _.pdf. Accessed 6 July 2024.
“Keresahan Mahasiswa: Kenaikan UKT, IPI, dan Transformasi PTN-BH.” Kumparan.com, 21 May 2024, https://m.kumparan.com/amp/adrian-rasyidin/keresahan-mahasiswa-kenaikan-ukt-ipi dan-transformasi-ptn-bh-22mF79F4cdd. Accessed 6 July 2024.
Luppies, Sukma N. “Beragam Sebab Biaya Kuliah Mahal - Nasional.” Koran TEMPO, Tim Tempo, 10 May 2024, https://koran.tempo.co/read/nasional/488395/penyebab-biaya-kuliah-mahal. Accessed 6 July 2024.
Mahmud, Amir, et al. “Income generating activity in higher education: A case study of a public university in Indonesia.” International Journal of Evaluation and Research in
Education (IJERE), vol. 11, 2022, pp. 303 - 312, https://r.search.yahoo.com/_ylt=AwrO5.SpH4lmUKsSuw9XNyoA;_ylu=Y29sbwNnc TEEcG9zAzEEdnRpZAMEc2VjA3Ny/RV=2/RE=1721472169/RO=10/RU=https%3 a%2f%2ffiles.eric.ed.gov%2ffulltext%2fEJ1340731.pdf/RK=2/RS=WCyTt48t1R.JNe uIfG9RzVo_FQk-.
Muljo, Hery Harjono, et al. PENGARUH AKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI TERHADAP PENGELOLAAN ANGGARAN, 2014, p. 538, https://r.search.yahoo.com/_ylt=Awr.1vRSHYlmfVMSdZhXNyoA;_ylu=Y29sbwNnc TEEcG9zAzIEdnRpZAMEc2VjA3Ny/RV=2/RE=1721471571/RO=10/RU=http%3a
%2f%2fresearch-dashboard.binus.ac.id%2fuploads%2fpaper%2fdocument%2fpublica tion%2fProceeding%2fBBR%2fVol%25205%2520No%2520.
“(PDF) Dampak Kebijakan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) yang Mengakibatkan Munculnya Komersialisasi Pendidikan.” ResearchGate, 3 March 2023,
https://www.researchgate.net/publication/369258736_Dampak_Kebijakan_Perguruan _Tinggi_Negeri_Badan_Hukum_PTN_BH_yang_Mengakibatkan_Munculnya_Kome rsialisasi_Pendidikan. Accessed 6 July 2024.
“(PDF) Dampak Kebijakan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) yang Mengakibatkan Munculnya Komersialisasi Pendidikan.” ResearchGate, 3 March 2023,
https://www.researchgate.net/publication/369258736_Dampak_Kebijakan_Perguruan _Tinggi_Negeri_Badan_Hukum_PTN_BH_yang_Mengakibatkan_Munculnya_Kome rsialisasi_Pendidikan. Accessed 6 July 2024.
“PERGURUAN TINGGI BERBADAN HUKUM (PTN-BH) | Humantech : Jurnal Ilmiah Multidisiplin Indonesia.” Journal Ikopin, 24 January 2023, https://journal.ikopin.ac.id/index.php/humantech/article/view/2921. Accessed 6 July 2024.
“Polemik Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum – Kompaspedia.” Kompaspedia, 12 July 2023, https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/polemik-perguruan-tinggi-negeri berbadan-hukum. Accessed 6 July 2024.
“PP No. 66 Tahun 2010.” Peraturan BPK, https://peraturan.bpk.go.id/Details/5090/pp-no-66-tahun-2010. Accessed 6 July 2024. Putri, Diva Lufiana, and Rizal Setyo Nugroho. “Mengenal PTN BH, Keistimewaan, dan Daftar Kampusnya Halaman all.” Kompas.com, 15 May 2024, https://www.kompas.com/tren/read/2024/05/15/120000765/mengenal-ptn-bh-keistime waan-dan-daftar-kampusnya. Accessed 6 July 2024.
“Rektor Unila dilaporkan ke Kejati terkait dugaan korupsi proyek senilai Rp18 miliar.” ANTARA News Lampung, 18 March 2024, https://lampung.antaranews.com/berita/722970/rektor-unila-dilaporkan-ke-kejati-terka it-dugaan-korupsi-proyek-senilai-rp18-miliar. Accessed 6 July 2024.
Sania Mashabi, and Ayunda Pininta Kasih. “Kemendikbud Minta PTN Sediakan Berbagai Mekanisme Keringanan UKT.” Kompas.com, 20 May 2024,
https://www.kompas.com/edu/read/2024/05/20/173105471/kemendikbud-minta-ptn-s ediakan-berbagai-mekanisme-keringanan-ukt. Accessed 6 July 2024.
“Statuta ITB dan Peraturan Turunan Statuta ITB – Satuan Penjaminan Mutu.” Satuan Penjaminan Mutu ITB, https://spm.itb.ac.id/dokumen-dan-per-undang-undangan/statuta-dan-peraturan-rektor turunan-statuta-itb-2/. Accessed 6 July 2024.
Sunudyantoro. “Mohammad Nuh Menjelaskan Cara Mencegah UKT Mahal - Wawancara.” Majalah TEMPO, 2 June 2024, https://majalah.tempo.co/read/wawancara/171628/ukt-mahal-ptnbh. Accessed 6 July 2024.
“UC Governance | Office of the Chief Financial Officer.” Office of the Chief Financial Officer,
https://cfo.berkeley.edu/staff-resources/training/finance-onboarding/organization-onb oarding/uc-governance. Accessed 6 July 2024.
“View of PERGURUAN TINGGI BERBADAN HUKUM (PTN-BH).” Journal Ikopin, https://www.journal.ikopin.ac.id/index.php/humantech/article/view/2921/2461. Accessed 6 July 2024.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 Tahun 1999
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum.