Kajian Kastrat

Blog Featured Image

Kontradiksi Izin Tambang dengan Ormas: Antara Motif Penghargaan atau Mala Fide

Isu transisi energi di Indonesia mulai mendapat perhatian sejak awal 2010-an, tetapi momentum besarnya baru terjadi pada tahun 2016. Sejak saat itu, Indonesia telah melakukan berbagai upaya, seperti terlibat dalam perjanjian perubahan iklim, menerbitkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), serta menetapkan target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060. Namun, dewasa ini muncul fenomena yang menyiratkan pesan bahwa pemerintah mulai meninggalkan komitmen tersebut.

Perhatian masyarakat kini beralih pada keputusan pemerintah untuk memberi hak konsesi tambang kepada organisasi massa (ormas) keagamaan. Berbagai tanggapan muncul, mulai dari apresiasi hingga kritik tajam, menyoroti adanya pelbagai kepentingan dan potensi terganjalnya upaya transisi energi akibat bisnis tambang ormas. Lantas, apa maksud dan tujuan kebijakan ini?

Asal-Usul Rencana Kontroversial

Kamis, 30 Mei 2024 dilansir dari tempo, Presiden Jokowi mengetok peraturan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara menjadi PP Nomor 25 Tahun 2024. Pada salah satu statuta peraturan tersebut — Pasal 83A — terdapat rumusan baru dimana ormas diperkenankan untuk mendapatkan izin pengelolaan pertambangan melalui skema Wilayah Izin Pertambangan Khusus (WIUPK).

Jika melihat prosesnya, pemberian hak konsesi tambang kepada ormas keagamaan sebenarnya sudah direncanakan sejak lama. Jauh sebelum peraturan revisi diketok, pada Desember tahun 2021 lalu ketika muktamar , Presiden Jokowi mengumbar janji kepada salah satu ormas islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama (NU) terkait pemberian IUP kepada kaum muda di lingkup ormas NU dengan dalih untuk peningkatan kesejahteraan dan swaguna masyarakat. Alur kemandirian dan kewirausahan organisasi NU saat itu menjadi alasan kuat lainya, menjadikan janji Jokowi memberi izin tambang semakin dibenarkan.

Dalam dinamikanya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga menyatakan bahwa langkah pemerintah untuk memberi IUP kepada ormas keagamaan harus melalui rekomendasi terlebih dahulu.

“Nanti, ini (pemberian IUP) rekomendasinya dari (Kementerian) Investasi,” ujar Arifin Tasrif, Menteri ESDM, dikutip dari CNBC.

Tabuh dari pengesahan revisi PP No 96 tahun 2021, Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia memberi penegasan terkait alasan dibalik revisi PP ini.

“Dalam pandangan kami dan berdasarkan arahan bapak presiden kontribusi tokoh-tokoh dan organisasi-organisasi ini tidak bisa kita bantah. Bahkan, yang memerdekakan bangsa ini ya mereka,” kata Bahlil dalam Konferensi Pers.

Pro-Kontra dan Update Terkini

Ketika berbicara terkait IUP untuk ormas, ini merupakan hal yang cukup sentral karena mengingat pertambangan termasuk dalam hilirisasi mineral yang merupakan prioritas utama dalam meningkatkan pendapatan negara Indonesia. Hal ini jelas membutuhkan pengelola yang memiliki kompetensi terbaik dalam memanfaatkan kekayaan alam. Keputusan pemerintah memberikan kesempatan bagi ormas agama dalam pengelolaan tambang membuat banyak pertanyaan atas kompetensi yang diragukan oleh masyarakat. Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, berpendapat bahwa kesempatan pengelolaan ini merupakan hal blunder yang dicetuskan oleh pemerintah.

”Saya khawatir ormas keagamaan sekalipun bisa terjerumus ke grey area yang penuh dengan kejahatan hitam tambang. Jangan-jangan, ormas keagamaan yang ingin memperbaiki akhlak malah terseret dalam kegiatan-kegiatan mafia, dalam perusakan lingkungan yang merugikan masyarakat,” kata Fahmy, dilansir dari Tirto.id.

Selain itu, Fahmy juga mengingatkan bahwa daerah-daerah tambang yang disediakan oleh pemerintah merupakan daerah yang sebelumnya sudah dieksploitasi lebih dari 20 tahun. Konsesi “sisa” seperti itu tentu lebih rawan merugi.

Kebijakan ini juga menimbulkan pertanyaan khusus mengenai tata kelola pemerintahan yang baik untuk saat ini. Ormas mempunyai fungsi sebagai perwakilan yang mengurusi masyarakat sipil. Kebijakan IUP tambang akan tumpang tindih karena ketika kebijakan ini diterapkan, ormas juga mengatur sektor privat yang mengurusi ekonomi. Hal itu berpotensi akan adanya ‘politik balas budi’ karena mengingat lebih dari 60% penduduk Indonesia tergabung dalam keanggotaan ormas dan berujung terjadinya penurunan kepercayaan masyarakat dalam melakukan pengaduan mengenai masalah-masalah masyarakat sipil.

Walaupun demikian, beberapa ormas keagamaan pun tetap memiliki responnya masing-masing. Seperti NU misalnya, langsung menerima dengan baik keputusan izin konsesi tambang. Mereka merasa bahwa kesempatan pengelolaan ini bisa menjadi peluang untuk membiayai operasional organisasi. Ormas keagamaan lain seperti Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI), dan Parisida Hindu Dharma Indonesia (PHDI) menyatakan menolak tawaran. Sedangkan yang ikut menerima lainnya adalah Muhammadiyah. Diketahui bahwa ormas ini baru mengajukan pengelolaan izin tambang akhir-akhir ini. Walaupun pada awalnya, Muhammadiyah belum memberikan kepastian persetujuan pengelolaan.

“Indonesia saat ini masih belum bisa melakukan transisi energi, dunia akan gelap gulita jika manusia meninggalkan batu bara sebagai energi. Muhammadiyah akan merencanakan dan memulai proses transisi energi ke depannya sembari dengan pengerjaan tambang, termasuk nanti pasca tambang, kita akan kembalikan lagi,” kata Azrul Tanjung, Ketua Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah.

IUP dalam Lensa Hukum Lingkungan

Jika dilihat dari perspektif lingkungan dan regulasinya, IUP sejatinya merupakan izin yang diberikan oleh pemerintah kepada pihak tertentu untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, terutama dalam sektor pertambangan. Hukum lingkungan di Indonesia diatur untuk melindungi dan menjaga kelestarian lingkungan hidup, yang merupakan hak asasi bagi seluruh warga negara. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), setiap kegiatan yang dapat berdampak pada lingkungan harus memperhatikan prinsip kehati-hatian (precautionary principle), pencemar membayar (polluter pays principle), dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Menganalisis hak konsesi tambang, ini berarti bahwa setiap izin yang dikeluarkan harus melalui prosedur yang ketat, termasuk Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Ormas keagamaan yang menerima hak konsesi tambang harus mematuhi semua regulasi ini dan memastikan bahwa kegiatan yang mereka lakukan tidak merusak lingkungan hidup. Pemberian hak konsesi tambang diatur oleh beberapa peraturan perundang-undangan, termasuk:

  • Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), yang mengatur tata cara pemberian izin usaha pertambangan (IUP).
  • Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, yang memuat lebih lanjut ketentuan mengenai proses pemberian dan pelaksanaan IUP.

Ormas keagamaan sebagai penerima hak konsesi tambang harus mematuhi ketentuan-ketentuan ini, juga dalam pemenuhan kewajiban finansial seperti pembayaran royalti, dan kewajiban lainnya yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan.

Beragam Reperkusi dari Keputusan Tanpa Pertimbangan dan Proses Matang

Pemberian hak konsesi tambang kepada ormas keagamaan tidak hanya berdampak langsung pada lingkungan dan masyarakat sekitar, tetapi juga memiliki konsekuensi jangka panjang yang perlu diperhatikan secara bersama dan serius, antara lain:

  1. Degradasi Lingkungan yang Berkelanjutan

Eksploitasi tambang yang tidak dilakukan dengan standar lingkungan yang ketat dapat menyebabkan degradasi lingkungan yang parah. Penggundulan hutan, pencemaran air, dan rusaknya habitat flora dan fauna merupakan beberapa risiko yang dapat terjadi. Dampak ini sering kali tidak segera terlihat, tetapi akumulasi kerusakan dapat menyebabkan bencana ekologis yang mempengaruhi generasi mendatang.

2. Perubahan Sosial dan Ekonomi Masyarakat Lokal

Kehadiran kegiatan tambang dapat mengubah struktur sosial dan ekonomi masyarakat sekitar. Pada awalnya, mungkin ada peningkatan ekonomi lokal karena peluang kerja dan investasi. Namun, dalam jangka panjang, jika sumber daya alam habis atau rusak, masyarakat bisa kehilangan sumber mata pencaharian mereka. Selain itu, ketimpangan sosial bisa meningkat jika hasil keuntungan tambang tidak dibagikan secara adil.

3. Potensi Konflik Sosial dan Politis

Keterlibatan ormas keagamaan dalam kegiatan tambang bisa memicu konflik sosial dan politis, terutama jika ada anggapan bahwa kekuasaan agama sedang digunakan untuk kepentingan bisnis. Konflik ini bisa berdampak pada stabilitas sosial di daerah tersebut, serta mempengaruhi hubungan antara kelompok agama dan pemerintah.

4. Kerugian Reputasi Ormas Keagamaan

Jika ormas keagamaan tidak mampu mengelola tambang dengan baik dan menyebabkan kerusakan lingkungan atau konflik sosial, reputasi mereka di mata masyarakat bisa merosot. Hal ini bisa mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap ormas tersebut dan berdampak pada kegiatan mereka di bidang lain, termasuk dalam misi sosial dan keagamaan.

5. Kepentingan Jangka Panjang Bangsa dan Lingkungan

Pemberian konsesi tambang kepada ormas keagamaan juga harus dipertimbangkan dalam konteks kepentingan jangka panjang bangsa. Jika sumber daya alam dieksploitasi secara tidak berkelanjutan, masa depan lingkungan dan ketersediaan sumber daya bagi generasi mendatang bisa terancam. Oleh karena itu, kebijakan ini harus dievaluasi secara berkala untuk memastikan bahwa tujuan jangka panjang bangsa dalam hal keberlanjutan dan keadilan sosial tidak dikorbankan.

Penutup

Pemberian hak konsesi tambang kepada ormas keagamaan adalah isu kompleks yang memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak. Dalam hukum lingkungan, penting untuk memastikan bahwa setiap kegiatan tambang dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan dan perlindungan lingkungan. Regulasi yang ada harus diikuti dengan ketat, dan pengawasan yang efektif harus dilakukan untuk mencegah dampak negatif jangka panjang. Selain itu, pertimbangan etika dan moral, potensi konflik sosial dan penurunan reputasi juga tidak boleh diabaikan, mengingat ormas keagamaan memiliki peran penting dalam menjaga kepercayaan dan nilai-nilai luhur di masyarakat.

Dalam menghadapi isu ini, pemerintah perlu bijak dalam mengambil keputusan, dengan mengedepankan kepentingan jangka panjang bangsa dan keberlanjutan lingkungan. Pemberian hak konsesi tambang harus dilakukan secara transparan dan akuntabel, dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat lokal dan lembaga-lembaga pengawas independen. Dengan demikian, diharapkan dampak negatif dapat diminimalisir dan manfaat positif dari eksploitasi sumber daya alam dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat, baik saat ini maupun di masa depan.

 

Penulis: Rafly Mardiansyah | Zakiya Annisa | Dhio Nasywa Sigit | Emil Fata Fafian Daffa Khoirot | Jane Natasha | Muhammad Amirul Ihsan

Editor: Ciptaning Ayu

Referensi