![Blog Featured Image](https://bem.feb.unair.ac.id/uploads/1719253728-Screenshot 2024-06-25 012802.png)
Teropong Isu 1 - Menelusuri Jejak Kartini: Dinamika Kesetaraan Gender dalam Perekonomian Indonesia di Masa Kini
Raden Ajeng Kartini merupakan figur yang sangat dihormati dalam sejarah Indonesia sebagai pahlawan emansipasi wanita. Lahir pada tahun 1879 di Jepara, Jawa Tengah, Kartini tumbuh menjadi pejuang hak-hak perempuan pada masa kolonial Belanda di Indonesia.
BAGIAN I — Kartini dan Legacy Perjuangan Perempuan: Menginspirasi Keseimbangan dan Kesetaraan
Pandangan Raden Ajeng Kartini yang terbuka terhadap hak asasi manusia, terutama hak-hak perempuan menjadikan beliau sebagai inspirasi bagi banyak orang dan membuka jalan menuju pembebasan dan kesetaraan bagi wanita di Indonesia, seperti halnya Maria Ulfah dan Nursyahbani Katjasungkana. Maria Ulfah terlibat dalam gerakan wanita pada awal abad ke-20 dan turut mendirikan PERWARI, sementara Nursyahbani Katjasungkana adalah seorang pengacara yang memperjuangkan hak-hak perempuan melalui sistem hukum. Meskipun jalur perjuangan mereka berbeda, tetapi tujuan mereka tetap sama, yakni mengadvokasi kesetaraan dan keadilan bagi perempuan di Indonesia.
Perjuangan ini telah membawa perubahan yang signifikan dalam berbagai aspek, terutama dalam hal pendidikan, kesetaraan, dan peran wanita di berbagai bidang. Wanita kini mendapat akses yang lebih luas ke pendidikan formal, yang sebelumnya terbatas.
BAGIAN II — Dari Perjuangan Kartini, Roda Kesetaraan Gender Berputar: Memulai Era Baru dalam Perkembangan Nilai-Nilai Kesetaraan
Semasa hidupnya, Kartini melihat secara langsung diskriminasi yang dialami perempuan di masa lampau. Tergerak oleh kondisi ini, beliau mulai menyuarakan gagasannya tentang kesetaraan gender melalui surat-suratnya kepada teman-temannya di Belanda. Dalam surat-suratnya, Kartini mengkritik tradisi yang membelenggu perempuan dan memperjuangkan hak-hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan, bekerja, dan berkontribusi dalam masyarakat. Gagasan-gagasannya telah menginspirasi banyak perempuan Indonesia untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
Pendidikan sebagai Kunci, Kemandirian sebagai Jalan
Kartini memandang pendidikan sebagai kunci utama untuk membebaskan perempuan dari belenggu keterbatasan sosial. Beliau menekankan pentingnya pendidikan merdeka yang setara dengan laki-laki, memberikan akses yang sama dalam mengembangkan potensi dan kontribusi bagi masyarakat. Melalui peningkatan keterampilan dan kesempatan kerja yang setara, Kartini berusaha mengangkat martabat perempuan dalam ranah ekonomi.
Membongkar Rantai Keterbatasan
Kartini berjuang untuk menghapus stereotip dan ekspektasi yang mengikat perempuan dengan menentang norma-norma sosial dan budaya yang membatasi perempuan seperti, menolak praktik perkawinan anak dan mengadvokasi kebebasan dalam menentukan pilihan hidup.
Menelusuri Jejak Kemajuan
Perjuangan untuk mencapai kesetaraan gender di Indonesia bagaikan sebuah perjalanan panjang. Dimulai dari masa penjajahan Belanda yang penuh diskriminasi, hingga era kemerdekaan yang menjanjikan kesetaraan, dan masa reformasi yang membuka peluang baru. Di setiap periode, aturan-aturan baru lahir, mencerminkan semangat zaman dan upaya untuk menghapus ketidakadilan.
Masa Penjajahan: Bayang-bayang Diskriminasi
Di bawah cengkeraman penjajah, perempuan Indonesia terpasung dalam belenggu diskriminasi.
Masa Kemerdekaan: Fajar Kesetaraan Terbit
Kemerdekaan membawa angin segar bagi perempuan Indonesia.
Masa Orde Baru: Pasang Surut Perjuangan
Era Orde Baru menghadirkan dinamika baru.
Masa Reformasi: Menuju Cakrawala Kesetaraan
Reformasi membuka cakrawala baru bagi kesetaraan gender.
Menuju Kesetaraan Sejati: Menjembatani Tantangan dan Merajut Masa Depan
Meskipun kemajuan telah diraih, perjuangan masih panjang.
BAGIAN III — Menembus Batas Kaca: Menilik Kesemuan dalam Era Kartini Masa Kini
Sampai saat ini sudah banyak kebijakan yang telah diberlakukan untuk mendukung kesetaraan gender meskipun realisasinya masih jauh dari harapan.Menurut skor Global Gender Gap pada tahun 2023, salah satu indikator yang mengalami penurunan adalah partisipasi dan peluang ekonomi bagi perempuan. Ini menunjukkan perlunya langkah-langkah konkret untuk meningkatkan peran perempuan dalam perekonomian Indonesia.
Saat ini, jumlah perempuan yang bekerja menurut Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) pada Agustus 2023 adalah 54,54% dari total angkatan kerja perempuan. Penyebab rendahnya angka kerja dibanding angkatan kerja pada perempuan adalah norma gender di Indonesia terkait dengan peran domestik perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga, diskriminasi gender yang masih berlaku, tingkat pendidikan perempuan yang rata-rata lebih rendah daripada laki-laki, dan kesenjangan upah yang mencapai 23,48% di berbagai sektor.
Perempuan yang bekerja di sektor formal hanya mencapai 18,77% dari total angkatan kerja perempuan. Selain faktor umum yang dijelaskan, penyebab rendahnya angka perempuan yang bekerja pada sektor formal adalah kurangnya infrastruktur penitipan anak dan diskriminasi dalam beberapa kebijakan sehingga perempuan mengalami kesulitan. Hambatan perempuan dalam menjalankan double-jobs menyebabkan kebanyakan perempuan memilih untuk bekerja pada sektor informal. Hal ini ditunjukkan melalui data SAKERNAS bahwa 35,75% dari total angkatan kerja perempuan berada di sektor informal.
Dampak yang cenderung datar ini dapat diatasi dengan pengembangan UMKM, bisa dalam sektor formal atau informal. Hal ini dapat dilihat dari jumlah UMKM yang dijalankan perempuan adalah 64% dari total UMKM yang ada di Indonesia pada tahun 2021. Tingginya UMKM yang dimiliki oleh perempuan tentunya diiringi oleh hambatan yang cukup besar yaitu hambatan pada akses keuangan dan modal.
Menilik dari beberapa hal yang sudah dijabarkan, dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini masih terjadi banyak pergerakan yang semu ke arah kesetaraan gender dan bahkan ada yang tidak berubah sama sekali. Kesemuan ini dapat menjadi faktor penghambat kemajuan perekonomian Indonesia mengingat peran perempuan cukup besar. Hal ini dilihat dari rasio jenis kelamin di Indonesia sebesar 102,2 yang berarti jumlah penduduk perempuan hampir sama dengan laki-laki.
BAGIAN IV — Keberlanjutan Perjuangan Kartini : Ekonomi Peka Gender sebagai Implementasi Kesetaraan Gender
Dapat diakui bahwa sudah banyak terjadi perubahan signifikan dalam dorongan untuk meningkatkan tingkat partisipasi wanita dalam kehidupan masyarakat dibandingkan dengan masa lampau. Namun, belum tentu peralihan tatanan masyarakat tidak sama sekali meninggalkan masalah dalam prosesnya.
Jika dibandingkan dengan rata-rata dunia, Indonesia berada di peringkat ke 87 dari 146 negara yang termasuk didalam penilaian The Global Gender Gap Index rankings pada tahun lalu. Padahal, jika mengacu penilaian tahun sebelumnya, peringkat Indonesia lebih tinggi dibandingkan tahun lalu, yakni peringkat 80. Indonesia dapat meraih peringkat lebih tinggi di masa depan dengan mulainya pembenahan secara struktur dari masalah -masalah yang terjadi di masa kini.
Langkah pertama yang perlu disiapkan oleh para pembuat kebijakan di Indonesia adalah menyisihkan investasi untuk keperluan SDM wanita. Investasi ini dapat dimulai dengan pengayoman sistem pendidikan sensitif gender di seluruh institusi pendidikan. Menurut Unesco, pemerintah perlu menerapkan hal tersebut dengan memperbaharui kurikulum yang tidak diskriminatif secara berkala, mengakomodasi pendidikan guru, serta memfasilitasi sarana sanitasi yang layak di lingkungan sekolah.
Kedua, membuka peluang bagi perempuan dalam bekerja di luar rumah dan membuka usaha. Kesempatan bagi perempuan untuk bekerja dengan perlakuan yang sama terhambat oleh paradigma motherhood penalty, yakni ketika seorang wanita sudah memiliki anak, kewajiban rumah tangga menjadi berat sebelah sehingga membatasi dinamika karir yang lebih baik.
Ketiga, jumlah keterwakilan perempuan di dalam posisi tinggi di manajerial dan pemerintahan harus ditingkatkan. Kapasitas perempuan di posisi kepemimpinan dapat berpengaruh signifikan terhadap stigma masyarakat. Di Islandia, kemajuan kesejahteraan perempuan besar kaitannya dengan lelaki dan perempuan yang saling berbagi jatah kekuasaan untuk membuat keputusan.
Terakhir, negara perlu menaruh perhatian lebih besar terhadap paradigma yang bias kepada perempuan. Menurut laporan PBB, hampir 90 persen pria dan wanita punya pandangan yang bias terhadap wanita. Benang merah dari ketiga solusi tersebut adalah pembenahan dari negatifnya paradigma ini secara sosio-kultural.
Penulis: Muhammad Amirul Ihsan | Era Fazira | Ni Putu Elsa Nitania Putri | Salsa Sabrina M. F.
Editor: Ciptaning ayu