Eskalasi Konflik Lahan di Indonesia: Ironi Negeri Agraris
Terbentang dari Sabang sampai Merauke hingga menyandang peringkat pertama sebagai negara terbesar di Asia Tenggara tak membuat Indonesia luput dari pelbagai peristiwa konflik agraria.
Usaha perbaikan melalui reforma agraria nyatanya bukan jaminan konflik tak berkesudahan ini dapat berhenti. Tumpang tindih peraturan, birokrasi yang berbelit, dan dominasi kepentingan ekonomi menyebabkan konflik tak bisa dihindari. Lantas, seberapa pelik situasi konflik agraria di Indonesia?
Negara Terluas, Penanganan Konflik Terburuk?
Dikutip dari Asian NGO Coalition for Agrarian Reform, Indonesia merupakan negara dengan permasalahan konflik agraria tertinggi dibanding enam negara Asia lainnya, seperti Filipina, Bangladesh, India, Kamboja, dan Nepal. Sebanyak 241 letusan konflik merampas seluas 638.188 hektar tanah pertanian, wilayah adat, wilayah tangkap, pemukiman dari 135.608 kepala keluarga (KK), dan 608 korban jiwa pejuang hak tanah berjatuhan akibat pendekatan represif di wilayah konflik.
Bak terus diwariskan dari pemerintahan sebelum ke setelahnya, konflik tiada henti yang terjadi bahkan sejak zaman kolonial sebelum masa kemerdekaan ini merupakan PR besar yang belum bisa diselesaikan dan bahkan pemerintah kerap kali menjadi bagian dari pihak yang berkonflik.
“Peningkatan konflik agraria memiliki pihak teradu paling banyak dari korporasi dan pemerintahan,” ungkap Hari Kurniawan, Komisioner Komnas HAM.
Konflik Lama di Bumi Blambangan yang Tak Kunjung Usai
Menilik sejarahnya, selama hampir satu abad, konflik agraria struktural di Desa Pakel berlangsung tanpa adanya titik terang. Terjadi sejak tahun 1929, konflik lahan di wilayah Hutan Pakel, Banyuwangi dimulai dengan pengabulan permohonan Akta 1929 atau Acta Van Verwizing 1929 oleh pemerintahan Bupati Raden Arya Adipati Mohammad Notohadisuryo pada 11 Januari 1929.
Meski telah disetujui, akta yang diajukan oleh perkumpulan petani di Banyuwangi itu ditentang oleh aparat pemerintah kolonial hingga menyebabkan konflik dengan PT Bumi Sari yang mengklaim HGU atas tanah perkebunan Desa Pakel. Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) yang didirikan Pemerintah Indonesia pada tahun 1972 kini juga mengklaim hak atas kepemilikan lahan di Desa tersebut, menyebabkan warga rukun pakel semakin terhimpit.
Perjuangan reclaiming oleh para petani Pakel berakhir dengan penangkapan, pemenjaraan, dan kekerasan fisik pada tahun 1999 oleh aparat keamanan. Selain itu, Perhutani juga membakar dan membabat seluruh rumah dan tanaman warga Desa Pakel pada tahun 2001. Usaha para petani Pakel akhirnya menemukan titik terang karena munculnya surat dari BPN Banyuwangi, No. 280/600.1.35.10/II/2018, tanggal 14 Februari yang menegaskan bahwa tanah Desa Pakel tidak termasuk dalam HGU PT Bumi Sari. Hal ini membuat para petani Pakel kembali melakukan penanaman di lahan mereka. Namun, pada Januari 2019, para petani Pakel dilaporkan oleh PT Bumi Sari atas tuduhan telah menduduki lahan PT Bumi Sari, berakibat 26 warga dipanggil oleh pihak kepolisian.
Kasus konflik lahan kembali mencuat dengan munculnya koalisi bebaskan Trio Pakel yang didasari oleh tindakan intimidasi kepada para korban pada 24 Maret 2024. Tiga petani Desa Pakel–Mulyadi selaku Kepala Desa Pakel, Suwarno selaku Kepala Dusun Durenan, Untung selaku Kepala Dusun Taman Glugoh–dijatuhi vonis hukuman penjara selama 5 tahun 6 bulan oleh Pengadilan Negeri Banyuwangi pada 26 Oktober 2023, imbas konflik lahan dengan korporasi. Penangkapan terjadi ketika mereka yang hendak menghadiri pertemuan antar kepala desa di Banyuwangi dengan dua orang lain–Hariri dan ponari–selaku sopir.
Kriminalisasi dan pendekatan represif yang kerap lolos, terjadi karena pengadilan gagal melihat fakta yang ada di Desa Pakel yang selama ini telah terjadi konflik agraria berkepanjangan. Hingga saat ini, konflik Pakel belum terselesaikan disertai perjuangan Rukun Tani Sumberejo Pakel yang tak pernah surut.
Rencana Kota “Inklusif” IKN yang Justru Sebabkan Konflik
Beralih ke rencana pemindahan ibu kota administratif negara yang sarat akan pro- kontra, konflik agraria adalah masalah yang tak dapat dihindari ketika rencana ini dilaksanakan. Salah satu konflik yang kini sedang terjadi adalah kelompok Tani Saloloang yang ditangkap karena tindakan usaha mempertahankan lahan mereka dari proyek IKN.
Konflik ini diawali dengan penangkapan sembilan orang warga dari dua kelurahan di Kabupaten Penajam Paser Utara, yaitu Pantai Lango dan Jenebora, Kalimantan Timur pada 24 Februari 2024. Sembilan petani ditangkap saat melakukan pertemuan bersama sejumlah anggota perwakilan koalisi dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda untuk membahas aktivitas penggusuran lahan, kebun, atau ladang mereka yang dilakukan oleh pihak pelaksana proyek pembangunan Bandara VVIP Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara tanpa keterlibatan mereka. Polda Kaltim datang lalu menangkap 9 orang dari Kelompok Tani Saloloang.
“Diskusi dilakukan bersamaan dengan acara makan malam di Toko Benua Taka pukul 20.19 WITA. Namun, tiba-tiba ada Kapolsek Penajam melintas,” kata Fathul Huda, salah satu perwakilan koalisi LBH Samarinda.
Setelah terjadinya penangkapan, muncul berbagai keterangan dan klaim dari kedua pihak yang sedang berselisih. Pihak kepolisian beranggapan bahwa kesembilan orang dari Kelompok Petani Saloloang tersebut menggunakan senjata tajam untuk mengancam operator alat berat di proyek pembangunan bandara VVIP IKN. Ini dilaporkan telah terjadi dua kali berturut-turut pada Jumat dan Sabtu, tanggal 23 dan 24 Februari 2024. Sementara pihak LBH Samarinda mengatakan bahwa penangkapan tersebut tidak sesuai prosedur karena dilakukan tanpa menunjukkan dokumen resmi, seperti surat tugas atau surat penangkapan kepada para pihak terkait.
Surat penangkapan baru diberikan kepada keluarga para tersangka oleh anggota pos polisi setempat pada malam Minggu, tanggal 25 Februari 2024. Kondisi terbaru para petani telah ditetapkan menjadi tersangka dan dibotaki. Namun, dibebaskan pada Jumat malam, 1 Maret 2024 setelah banyaknya desakan yang diterima oleh pihak kepolisian.
“Adik saya ditangkap seperti seorang teroris, lehernya dipiting dan ditangkap paksa. Tidak manusiawi, harusnya Pak Jokowi tolong kami,” ujar salah satu keluarga petani yang tertangkap.
Ironi Lintas Generasi Meski Pemimpin Silih Berganti
Maraknya konflik agraria di negeri agraris seperti Indonesia adalah sebuah ironi. Masyarakat hidup tanpa adanya kepastian jika tanah yang mereka miliki sekarang akan aman dari perampasan. Tak ada kepastian akan tanah, perlindungan hukum pun sering tidak mereka dapatkan akibat kriminalisasi dan intervensi dari pihak berwenang saat terjadinya konflik. Hal tersebut telah melanggar banyak payung hukum yang seharusnya dipelajari dan dipatuhi saat melayani masyarakat dan negara. Konflik agraria terus terjadi sepanjang waktu mulai dari zaman kolonial hingga kini 78 tahun Indonesia telah menjadi bangsa yang merdeka.
Pemerintah sebenarnya telah melakukan upaya penyelesaian dengan pembuatan kebijakan Reforma Agraria yang dianggap sukses karena sudah melampaui target untuk salah satu programnya. Namun, kesuksesan yang dicanangkan pemerintah ini bertentangan dengan kenyataan karena faktanya, pengaduan akan konflik lahan terus meningkat. Peningkatan pengaduan ini terjadi sebab upaya penyelesaian yang dilakukan ada tanpa berbarengan dengan tindakan riil saat konflik terjadi. Meski telah didengungkan sejak awal kemerdekaan, agenda pembaruan agraria terasa hadir tanpa adanya kemajuan dalam prakteknya. Pemerintah saat ini hanya berfokus dalam redistribusi dan legalitas tanah, tetapi tidak melakukan penyelesaian konflik dan sengketa pertanahan.
Penulis: Rafly Mardiansyah | Ni Putu Elsa N. P | Dhio Nasywa S
Editor: Ciptaning Ayu