
Kabar Kabur Makan Siang di Rapat Kabinet: Untuk Keberlanjutan atau Keturunan?
Dibahasnya program salah satu pasangan calon (Paslon) dalam rapat kabinet seakan menunjukkan secara eksplisit pada masyarakat tentang posisi dimana istana berpihak.
Bak genosida wewenang, lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU) dianggap sebagai anak kemarin sore yang tak perlu ditunggu dulu suaranya. Wewenang KPU yang tertulis secara tegas di dalam Undang-Undang (UU) untuk mengesahkan dan mengumumkan hasil Pemilihan Umum (Pemilu) diperlakukan sebatas pagar kayu yang dengan mudah dilangkahi. Begitu inginnya pemerintah atas slogan keberlanjutan berhasil, lantas dengan segala cara yang dilakukan, apakah Indonesia benar-benar mampu menanggung segala polemik ini?
RAPBN Disusupi
Indonesia telah melakukan pesta demokrasi rutin Pemilu pada Rabu, 14 Februari 2024. Namun, hanya 11 hari setelah pemungutan suara, pada 26 Februari 2024, presiden dan jajaran menterinya mengadakan rapat kabinet paripurna. Lantaran anaknya — Gibran Rakabuming Raka — unggul jauh dalam survei quick count, Presiden Jokowi menambah agenda bahasan di rapat itu. Rapat yang mulanya membahas berbagai isu, termasuk persiapan Ramadhan dan Idul Fitri 2024, rencana kerja pemerintah dan kerangka kerja ekonomi makro 2025 serta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, disisipkan oleh Jokowi terkait pembahasan program makan siang gratis.
Pembahasan RAPBN ditekankan oleh Presiden Jokowi agar mempertimbangkan hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 untuk menjaga keseimbangan pembangunan dan mengakomodasi program presiden terpilih. Penekanan oleh presiden ini terasa hanya formatif pada ruang rapat saja karena faktanya, pembahasan RAPBN lebih ditujukan untuk program unggulan Paslon nomor urut 02, yaitu makan siang gratis. Dengan dalih keberlanjutan pemerintahan, tak henti-hentinya Presiden Joko Widodo membantu anaknya, menganggap bangsa dan negara hanya mainan semata.
Program Paslon Dimasukkan dalam Pos, APBN Sanggup?
Meskipun anggaran dalam APBN untuk makan siang gratis belum dialokasikan, tetapi pos program tersebut dalam APBN 2025 sudah disediakan. Jika melihat APBN Indonesia saat ini, maka sangat jelas kondisinya terlalu terbebani oleh anggaran-anggaran yang sudah ada. Anggaran pendidikan sebesar Rp 665,0 triliun, kesehatan sebesar Rp 187,5 triliun, ketahanan pangan sebesar RP 114,3 triliun serta pembiayaan-pembiayaan penting lain yang lebih urgent. Kilas balik dari 2024 pun, APBN Indonesia defisit sebesar Rp 522,8 triliun dan akan tercekik bila dipaksakan untuk mendanai program yang tidak direncanakan dengan matang.
Spekulasi dan perhitungan berbagai pihak mengindikasikan bahwa program makan siang dan susu gratis adalah program yang amat mahal. Mulai dari yang pertama kali berbicara, Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran menyampaikan dibutuhkan Rp 450 triliun per tahun untuk merealisasikannya (setara dengan 14–15% total APBN), biaya yang ditaksir TKN hampir sama dengan anggaran Amerika Serikat yang merupakan negara adidaya. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional sedikit berbeda, mereka menunjukkan belanja untuk program makan siang dan susu gratis membutuhkan dana sebesar Rp 185,2 triliun per tahun. Sedangkan Kementerian Koordinator Perekonomian dengan asumsi kalkulasi Rp 15 ribu per porsi per hari dan jumlah penerima 70,5 juta jiwa dibutuhkan Rp 257,2 triliun. Dengan jumlah anggaran fantastis yang dibutuhkan tersebut, program ini tak luput oleh bayang-bayang korupsi, ajang hajatan para elit politik dan miss realisasi.
Pemerintah “Gaspol” Langkahi KPU
Selanjutnya, selain sudah ditambahkan dalam pos APBN 2025, program makan siang dan susu gratis ini juga telah diuji coba. Tindakan yang lagi-lagi melangkahi wewenang KPU untuk memutuskan terlebih dahulu siapa pemenang perhelatan Pilpres 2024. Kali ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, yang melakukannya. Tiga hari selepas rapat kabinet (29/02/2024), pemerintah melakukan uji coba program makan siang dan susu gratis untuk siswa Sekolah Dasar (SD) dan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 2 Curug, Tangerang.
Dalam proses uji coba ini, disediakan makanan dengan harga Rp 15.000 per porsi. Isinya beragam, dengan 4 jenis menu yang ditawarkan, yaitu nasi dan ayam goreng, gado-gado serta nasi dan semur telur. Siswa penerima makan siang ini pun turut berkomentar, dikutip dari detikfinance, siswa kelas 9 bernama Akbar meminta untuk porsi nasi ditambah lagi.
“Dari rasanya mah enak. Nasinya aja yang kurang banyak,” kata Akbar kepada awak media.
Banyak pertanyaan muncul terkait urgensi tindakan ini. Bukan tanpa alasan, masih dalam perhitungan suara KPU, program ini justru condong pada Paslon 02. Presiden sendiri yang mengatakan, bahkan dengan menenteng selembaran kertas berisikan UU No 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum yang hanya dikutip sepenggal terkait persoalan keberpihakan yang boleh dilakukan, tetapi tidak memakai fasilitas dan biaya negara. Lantas memakai uang siapakah kegiatan uji coba ini?
Pemerintah Sebenarnya Sadar
Meski sudah amat jelas kegiatan tersebut condong pada salah satu Paslon, tetapi Menko Airlangga enggan mengaitkan kegiatan uji coba tersebut dengan program makan siang gratis Prabowo-Gibran. Ia beralasan bahwa kegiatan uji coba tersebut merupakan bagian dari usaha pemerintah untuk mencapai Indonesia Emas 2045 (Kompas). Polemik anggaran yang dibutuhkan, hingga sumber anggaran yang terbatas, mendorong pemerintah mencari sumber dana lain selain APBN.
Sebelum kegiatan uji coba di Tangerang itu, Airlangga mengusulkan jika makan siang gratis dibiayai dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Hal ini justru memperjelas bahwa Indonesia belum siap dengan program makan siang yang ramai dibicarakan itu, bahkan hal tersebut juga memberikan penjelasan mengenai pemerintah yang sudah paham betul bahwa APBN tidak bisa untuk membiayai program ini. Rencana kenaikan rasio pajak dan pengurangan subsidi bahan bakar pasti akan menimbulkan reaksi dari masyarakat. Rencana keterlibatan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga seperti pemerintah mengerahkan seluruh sumber dana untuk program yang dipaksakan ini.
Bagaimana dengan Tetangga?
Soal apakah program makan siang gratis ini benar-benar bisa dan perlu dilaksanakan, kita bisa melihat tetangga sama benua, seperti Jepang. Jika dibandingkan dengan Jepang, biaya untuk program makan siang gratis dianggarkan $2,50 atau sekitar Rp 38,950 per porsi. Bahkan Jepang dengan APBN yang berlipat-lipat melebihi Indonesia, masih kesulitan dalam realisasi makan siang gratis. Dalam penerapannya, Jepang hanya mampu menyediakan 1,4 miliar yen atau sekitar Rp 146,951 miliar dalam anggaran 2023 untuk sekolah dasar dan menengah pertama yang gratis dan untuk sisanya tidak benar-benar gratis melainkan hanya subsidi (orang tua masih harus membayar biaya untuk makan siang anaknya). Hal ini dikarenakan banyak pos-pos anggaran yang lebih diutamakan, macam dana pembangunan infrastruktur, pengembangan dan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) yang lebih komprehensif seperti pendidikan, kesehatan, dan riset.
Bantuan presiden tak berhenti hanya sampai dimasukkannya program sang anak dalam APBN 2025, soal keberpihakan dan masuknya Airlangga dalam TKN serta bergabungnya Partai Golongan Karya (Golkar) dalam koalisi Indonesia maju besutan Prabowo-Gibran pun tak lepas dari bantuan Presiden Jokowi dengan politik sanderanya. Di plot jauh-jauh hari sebelum masa pemilu, Jokowi dengan Kejaksaan Agung (Kejagung) sebagai alat ujung pedangnya, memeriksa Menko Perekonomian itu. Pada 24 Juli 2023, Airlangga diperiksa 12 jam, hingga dicecar 46 pertanyaan. Padahal Golkar pada 2019 tergabung dalam koalisi Jokowi-Ma’ruf melawan Prabowo-Sandi. Setelah mengusung Gibran sebagai bakal calon wakil presiden Prabowo pada 21 Oktober 2023, tentu kasus Kejagung terhadap Airlangga hilang tak pernah ada bak ditelan bumi.
Catatan Untuk Pemimpin Bangsa
Bentuk pelanggaran dan abuse of power dalam etika bernegara harus dihentikan. Pelucutan wewenang dengan melangkahi tugas lembaga terkait dan memaksakan keinginan tanpa perencanaan yang jelas adalah kesalahan dan tak patut dilakukan. Pemerintah seharusnya belajar, tidak mengulangi program yang dipaksakan, seperti Ibu Kota Negara (IKN) yang lahannya sudah dibabat habis baru kemudian meminta universitas untuk membuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) nya.
Mengatur dan memimpin negara yang menganut sistem demokrasi bukanlah seperti monarki, adanya besitan pikiran untuk membangun oligarki merupakan bisikan setan yang tak patut untuk didengar. Gejolak internal Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) yang timbul hanya seperti air bocor yang dengan licik ditambal oleh Jokowi dengan menaikkan Tunjangan Kinerja (Tukin) jelang 2 hari prapremilu. Usaha untuk membenarkan percobaan program makan siang dan susu gratis di bawah payung pembangunan nasional adalah kebohongan publik yang mencela pemahaman masyarakat Indonesia.
Dipakainya alat kekuasaan negara sebagai senjata politik represif oleh presiden wajib dihentikan. Fasilitas negara yang dipakai tidak untuk kepentingan bangsa dan negara adalah tindakan mengkhianati tidak hanya seluruh masyarakat Indonesia, tetapi jati diri bangsa, falsafah hidup bangsa, pancasila. Mengapa kita berpikir kritis, ikuti saja pikiran dan kemauan penguasa. Sebuah ironi yang mekar dalam pikiran negeri. Duri pikiran yang mulai tumbuh ini harus dihilangkan, masyarakat wajib mengawasi selalu gerak pemimpin negeri dan menegur dengan keras jika melenceng dari tujuan membawa kemakmuran dan kesejahteraan.
Penulis: Rafly Mardiansyah | Ahmad Abid Zhahiruddin | Era Fazira
Editor: Ciptaning Ayu